Temuan saintifik kontemporer  tersebut mendorong Lloyd untuk merekonfigurasi epistemologi biner pemikir  barat serta artikulasi mereka akan "reason" yang sungguh bermasalah. Lloyd membuktikan bahwa akal tidaklah maskulin dan sains bukanlah konfigurasi norma tertentu (baca: heteronormatif), sains adalah satu-satunya harapan yang kita punya untuk mendengarkan masyarakat, untuk mengurai misteri alam dan membuat seluruh fenomena alami masuk akal.  Sungguh merupakan sia-sia jika komunikator sains justru macet dalam mitos cucung renaissance yang justru tidak saintifik (tidak mempertimbangkan temuan-temuan ilmiah baru dan memaksakan satu model realitas alam yang lawas). Tetapi, apalah daya, justru standar "rasional" dan "saintifik" ala cucung renaissance inilah yang digunakan masyarakat Indonesia untuk mengartikulasi sains, termasuk komunikator sains.
Tetapi lagi-lagi, apa yang bisa kita lakukan di tengah negara yang masih terjebak dalam jerat masalah struktural, yang masih memegang teguh prinsip "yang penting dapat duit". Benar begitu, komunikator sains?.Â
KesimpulanÂ
Memang memprihatinkan jika melihat dogma-dogma irasionalitas dan non-ilmiah yang dilontarkan masyarakat pada feminis Indonesia. Padahal, menjadi feminis, berarti menjadi saintifik (yang sesungguh-sungguhnya saintifik) dan progresif terhadap kemajuan riset ilmuwan nasional.Â
Pada akhirnya, artikel ini adalah tamparan keras bagi komunikator sains supaya memperluas pemahamannya akan sains yang apolitis. Sains bukanlah alat monetisasi, jika anda memang menilai tinggi derajat sains. Sains adalah harapan masyarakat untuk hidup. Maka bersikaplah secara bijak dalam melakukan komunikasi sains dengan setidaknya paham bahwa sains adalah juga kebijakan politis untuk memahami fenomena alami yang terjadi di masyarakat dengan rasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H