Mohon tunggu...
Raisa Rahima
Raisa Rahima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Filsafat Universitas Gadjah Mada

Penulis merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Penulis tertarik dengan pembahasan filsafat ilmu, filsafat bahasa dan logika.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Feminis Berarti Menjadi Saintifik

1 Juli 2023   11:25 Diperbarui: 17 Juli 2023   16:26 3249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Temuan saintifik kontemporer  tersebut mendorong Lloyd untuk merekonfigurasi epistemologi biner pemikir  barat serta artikulasi mereka akan "reason" yang sungguh bermasalah. Lloyd membuktikan bahwa akal tidaklah maskulin dan sains bukanlah konfigurasi norma tertentu (baca: heteronormatif), sains adalah satu-satunya harapan yang kita punya untuk mendengarkan masyarakat, untuk mengurai misteri alam dan membuat seluruh fenomena alami masuk akal.  Sungguh merupakan sia-sia jika komunikator sains justru macet dalam mitos cucung renaissance yang justru tidak saintifik (tidak mempertimbangkan temuan-temuan ilmiah baru dan memaksakan satu model realitas alam yang lawas). Tetapi, apalah daya, justru standar "rasional" dan "saintifik" ala cucung renaissance inilah yang digunakan masyarakat Indonesia untuk mengartikulasi sains, termasuk komunikator sains.

Tetapi lagi-lagi, apa yang bisa kita lakukan di tengah negara yang masih terjebak dalam jerat masalah struktural, yang masih memegang teguh prinsip "yang penting dapat duit". Benar begitu, komunikator sains?. 

Kesimpulan 

Memang memprihatinkan jika melihat dogma-dogma irasionalitas dan non-ilmiah yang dilontarkan masyarakat pada feminis Indonesia. Padahal, menjadi feminis, berarti menjadi saintifik (yang sesungguh-sungguhnya saintifik) dan progresif terhadap kemajuan riset ilmuwan nasional. 

Pada akhirnya, artikel ini adalah tamparan keras bagi komunikator sains supaya memperluas pemahamannya akan sains yang apolitis. Sains bukanlah alat monetisasi, jika anda memang menilai tinggi derajat sains. Sains adalah harapan masyarakat untuk hidup. Maka bersikaplah secara bijak dalam melakukan komunikasi sains dengan setidaknya paham bahwa sains adalah juga kebijakan politis untuk memahami fenomena alami yang terjadi di masyarakat dengan rasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun