Mohon tunggu...
Raisa Rahima
Raisa Rahima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Filsafat Universitas Gadjah Mada

Penulis merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Penulis tertarik dengan pembahasan filsafat ilmu, filsafat bahasa dan logika.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Feminis Berarti Menjadi Saintifik

1 Juli 2023   11:25 Diperbarui: 17 Juli 2023   16:26 3249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: teepublic.com 

Pekerjaan Ilmuwan memang begitu spesifik dan terkesan  tidak penting bagi khalayak publik. Ilmuwan tidak pernah mempermasaslahkan apakah masyarakat harus mempercayai sains atau tidak, seorang peneliti biologi bisa saja percaya pada eksplanasi agama yang dipegangnya: sebab sains bagi Ilmuwan adalah Paradigma, sains bagi ilmuwan adalah pekerjaan.

Barulah bagi masyarakat non-ilmuwan, sains  masuk dalam ranah kepercayaan ilmiah. Masyarakat dekat dengan fenomena, baik itu ilmiah maupun ilmiah-sosial. Mereka butuh eksplanasi untuk memecah masalah atas fenomena tersebut. Eksplanasi ini berkelindan dengan belief atau kepercayaan yang masyarakat sepakati. Beberapa percaya eksplanasi ilmiah, beberapa percaya eksplanasi konservatif--berdasarkan norma agama atau budaya misalnya. Tugas komunikator sains, adalah menyebarkan kepercayaan ilmiah semaksimal mungkin, mengekslusikan kepercayaan-kepercayaan non-ilmiah yang seringnya bias nilai cenderung digunakan untuk agenda tertentu.

Di sinilah kita akan menemukan masyarakat-masyarakat yang haus akan kebenaran, haus akan bimbingan untuk berdinamika dalam realitas yang kompleks. Oleh karena itu komunikasi sains adalah juga kegiatan politis, mereka harus memihak apa yang terjadi di masyarakat dan menjaminkan kepercayaan ilmiah atas fenomena-fenomena alami (alami berarti yang terjadi, sehingga fenomena sosial adalah fenomena alami) yang benar-benar terjadi pada masyarakat, alih-alih memaksakan model "realitas" tertentu pada masyarakat tersebut dan berbohong pada realitas yang ada.  Agenda politis masyarakat yang rasional dan saintifik adalah yang selalu berorientasi pada kuriusitas dan bukan otonomi norma atau subjek tertentu. Hal ini linear dengan esensi definisi sains sendiri, yang terlepas diartikulasi ilmuwan sebagai pekerjaan, diartikulasi secara umum sebagai kegiatan mendeskripsikan alam (Godfrey-Smith, 2003)

Tetapi, sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Sains menjadi suatu alat politis untuk memaksakan model atau tata cara berkehidupan yang  bias nilai. Bahwa ketika individu nonheteroseksual mengeksplorasi pengalaman seksualnya, hal itu harus ditafsir tak lain sebagai penyakit karena menentang norma heteroseksualitas. Sains tiba-tiba menjadi suatu kepercayaan non-ilmiah, sains tiba-tiba menjadi suatu agama baru. Artikulasi sains di Indonesia tiba-tiba digunakan untuk agenda yang justru tidak saintifik. Mengapa demikian?

Tentang "Anak Cucung Renaissance" yang Non-saintifik

Kegagalan komunikator sains indonesia untuk mengartikulasi sains dengan tepat bisa dijelaskan oleh dua sudut pandang. Kedua sudut pandang ini saling bertopang satu sama lain. Pertama, dalam sudut pandang struktural. Jelas, Indonesia adalah negara berkembang yang tidak punya banyak waktu untuk berkontemplasi secara filosofis atas apa yang bekerja di balik produksi pengetahuan. Yang kedua, karena state of affair struktural itu, mau tak mau artikulasi "sains" di Indonesia masih mengikuti artikulasi klasik sains positivistis yang irasional. Apa itu arti sains bagi para positivistis yang bias kapitalis dan mengapa mereka non-saintifik?

Pada tahun 1979, Genevieve Lloyd menulis suatu buku revolusioner yang berjudul "The Man of Reason". Dalam buku tersebut, Lloyd membongkar epistemologi toksik yang untuk hampir 2000 tahun, bersemayam di balik reproduksi ilmu pengetahuan masyarakat barat. Plato, Aristoteles dan Francis Bacon adalah nama besar intelektual barat yang mempromosikan penting dan canggihnya "akal" atau reason manusia. 

Sumber: routledge.com
Sumber: routledge.com

Dalam pandangan mereka, akal diartikan sebagai kebajikan sebab ia mengembalikan supermasi dan martabat manusia di alam ini. Sebab melalui akal lah, manusia dapat mengontrol ibu alam,  dapat memungkinkan seluruh pengetahuan (real knowledge). Tetapi supermasi akal ini juga datang dengan masalah: sains jadi digunakan untuk kepentingan manusia tertentu saja ( laki-laki dan pemilik modal) dan bukan digunakan untuk menelusuri kebenaran. Akal menjadi suatu hal yang maskulin dan sains menjadi suatu hal yang berjalan linear sengan logika kapitalis. Realitas yang seharusnya ditelusuri malah direduksi dan dikontrol guna profit tertentu.

Bagi Lloyd, artikulasi akal dalam pandangan ini, sangat bermasalah. Sebab supermasi akal mengoposisikan penggunaan emosi. Bahwa emosi adalah properti paling hina manusia karena cenderung pasif dan tidak berguna dalam produksi pengetahuan. Balok epistemologi ini juga yang kemudian makin mengaksentuasi opresi perempuan: mereka mengatribusikan rasional dengan laki-laki, dan emosi dengan perempuan.

Menariknya, justru neurosains kontemporer membuktikan bahwa sub-sistem emosi dalam otak manusia bekerja secara integral untuk mengoperasikan fungsi otak manusia yang "tepat". Temuan ilmiah tersebut membuktikan bahwa tidak ada pembedaan biner atas sistem emosional dan rasional, sebab keduanya bekerja dalam gradasi neural untuk menciptakan putusan manusia yang "rasional".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun