Mohon tunggu...
Raisa Rahima
Raisa Rahima Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Filsafat Universitas Gadjah Mada

Penulis merupakan Mahasiswa S1 Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Penulis tertarik dengan pembahasan filsafat ilmu, filsafat bahasa dan logika.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Feminis Berarti Menjadi Saintifik

1 Juli 2023   11:25 Diperbarui: 17 Juli 2023   16:26 3249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: teepublic.com 

Ada dua dogma yang menggerogoti masyarakat Indonesia ketika mendengar kata "Feminisme". Pertama, feminisme tidak rasional sebab tidak mengikuti kaidah saintifik. Kedua, feminisme adalah gagal dan sia-sia sebab terkesan ingin merusak tatanan sosial dan budaya. Dua dogma ini disebabkan kecacatan komunikator sains Indonesia dalam mengartikulasi makna "sains" itu sendiri. Artikel ini mencoba mengulik bagaimana komunikator sains berpengaruh dalam kemacetan pergerakan feminisme dalam masyarakat Indonesia.

Artikulasi Sains yang Salah

Komunikator sains adalah sebutan bagi orang yang  mengomunikasikan temuan-temuan saintifik dari ilmuwan kepada khalayak publik dengan bahasa populer.  Selain itu, komunikator sains juga bertugas memberikan interpretasi preskriptif atas temuan ilmiah tersebut. Interpretasi preskriptif ini  seharusnya digunakan komunikator sains dalam mengupayakan gerakan feminis untuk menyuarakan kesetaraan gender, keberadaan hak perempuan dan agenda feminisme lainnya. 

Misalnya, temuan Andrea Ganna, peneliti jebolan  Harvard Medical School di Boston, Cambridge dan Massachussets. Ia melakukan penelitian atas variasi gen yang mungkin dari perilaku individu nonheteroseksual yang pernah melakukan aktivitas seksual sesama jenis. Dari empat variasi gen yang mungkin, yang menarik adalah variasi gen keempat di mana individu nonheteroseksual memiliki korelasi dengan semacam gangguan mental dan mood (Price, 2018). 

Tugas komunikator sains, demikian, adalah untuk meluruskan bahasa ilmiah dengan bahasa sehari-hari, menerjemahkan bahwa korelasi  tidaklah sama dengan kausalitas, sehingga tidak ada penafsiran salah atas penelitian tersebut seperti "LGBT adalah penyakit" dan lain sebagainya. Komunikator sains, dengan pemahaman sainsnya, dapat menambahkan bahwa gangguan mental, selain berkorelasi dengan faktor genetik, juga berkorelasi dengan faktor  lingkungan masyarakat yang misalnya mengucilkan suatu individu  sehingga potensi  gangguan mentalnya makin rentan. 

Komunikator sains harus menginterpretasi temuan ilmiah secara rasional. Jika ditemukan terdapat potensi besar bagi individu nonheteroseksual  untuk menurunkan gen pembawa penyakit, maka bukan berarti individu tersebut harus dibunuh karena "ia adalah biang penyakit", komunikator sains harus kritis: memikirkan cara untuk meminimalisir potensi penyakitnya.

Sayangnya hal itu tidak terjadi di Indonesia. Mengapa demikian? 

Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa sains  bermakna berbeda bagi ilmuwan dan non-ilmuwan. Bagi ilmuwan, sains diartikulasi dalam suatu paradigma. Paradigma sains adalah bentuk "kepercayaan ilmiah" yang cakupannya lebih luas.  Mengutip filsuf ilmu Thomas Kuhn (1922-1996), Paradigma Sains adalah  klaim tentang dunia, metode untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta habit pikiran dan aksi saintifik (Godfrey-Smith, 2003).  

Ilmuwan tidak mempermasalahkan apakah gen turunan pasangan nonheteroseksual merupakan penyebab seorang anak mengalami penyakit BPD, ilmuwan mempermasalahkan seberapa besar potensi  gangguan mental anak dari varian gen spesifik induknya. Ilmuwan tidak mempermasalahkan eksplanasi pasti atau eksak suatu fenomena, tetapi mereka berproses dalam aktivitas penguatan dan pelemahan suatu eksplanasi: semakin tinggi derajat korelasinya, semakin valid eksplanasinya (bersifat kausal). 

Meskipun demikian, sangat jarang ditemukan derajat korelasi yang mendekati 100%, sebab jika temuan mereka mendapati akurasi penguatan yang valid sampai 100%, maka temuan mereka bersifat revolusioner sebagaimana Copernicus membantah klaim geosentris atas bagaimana tata surya bekerja: temuan mereka menciptakan suatu klaim baru, suatu paradigma baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun