Mohon tunggu...
Rainny Drupadi
Rainny Drupadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penjawab ABAM

Not too smart, but striving to be smarter

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jagal/The Act of Killing: Film Wajib Tonton bagi Orang Indonesia

28 September 2012   11:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:16 14436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Sebuah laporan jurnalistik mengatakan bahwa separo mahasiswa tidak pernah mengetahui bahwa di Indonesia pernah ada pembantaian massal yang menghabiskan nyawa ratusan ribu manusia pada 1965-1966. Ini juga keberhasilan propaganda rezim Orde Baru menghipnotis rakyatnya. Sebagai misal, pembunuhan perwira tinggi dan operasi G30S masuk dalam pelajaran sejarah dari SD sampai SMA, berulang-ulang, dan tak kurang di belakang nama operasi Gerakan 30 September (nama yang disebut oleh para organisatornya) ditambahi oleh sejarawan resmi Orde Baru dengan "/PKI" bagai vonis yang telak--walau tak pernah dibuktikan--bahwa seluruh anggota PKI, siapapun, di manapun, yang kurang lebih 3 juta jumlahnya, bersalah dan terlibat dalam sebuah operasi militer yang dirahasiakan dengan ketat. Buku teks sejarah yang tidak mencantumkan "/PKI" dibakar oleh pihak kejaksaan. Kita tahu bahwa ada beberapa pimpinan PKI yang terlibat dalam operasi G30S ini, tetapi menimpakan kesalahan pada semua anggota partai dan organisasi lain yang berafiliasi dengannya bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga merupakan pelanggaran prinsip keadilan yang fatal.


 Daya kritis (berpangkal pada imajinasi) jutaan murid dipangkas dengan pelajaran ini. Tidak boleh dipertanyakan, bagaimana mungkin intelijen militer/aparat negara tidak mengetahui atau mengendus adanya rencana penculikan perwira tinggi pada dini hari 1 Oktober 1965, sementara ada 3 juta orang lainnya bukan hanya tahu, tetapi terlibat di dalam operasi tersebut. Ini tidak masuk akal. Kalau memang 3 juta orang ini tidak tahu dan tidak terlibat, mengapa mereka semua dipukul rata dianggap bersalah, lalu kenapa yang bukan PKI, tapi misalnya organisasi yang berafiliasi atau mendukung PKI, seperti Pemuda Rakyat, Lembaga Kebudayaan Rakyat, Serikat-Serikat Buruh, anggotanya juga ditangkapi, dibunuhi? Dan kenapa semuanya dilakukan tanpa pemeriksaan dan pengadilan yang memadai? Bagaimana ratusan ribu sampai jutaan bisa dibunuh, yang lainnya disiksa, dipenjara, dibuang, dirusak dan dirampas harta bendanya, tidak sedikit yang diperkosa, dan selama berpuluh tahun kemudian dicabut hak-hak sipilnya, didiskriminasi, dan diperhinakan? Bagaimana ini semua diorganisasi? Apa peran negara di dalamnya? Atau bagaimana sikap dan tindakan aparat dalam hal ini? Apakah mereka ikut melakukan pelanggaran HAM berat ini (by commission) atau mereka membiarkan pelanggaran itu terjadi (by omission).Menarik mencermati laporan Komnas HAM mengenai Pelanggaran HAM yang Berat 1965-1966, di situ bisa kita baca betapa negara ikut terlibat dalam 9 dari 10 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan.


 Film "Pengkhianatan G30S/PKI" ikut memperkuat citra kejam dan kejinya komunis. Film ini selama 4 jam habis-habisan menceritakan tentang bagaimana (dalam rekonstruksi sejarawan resmi Orde Baru) terjadinya pembunuhan 7 perwira tinggi AD itu, tetapi segera berhenti dan layar ditutup dengan pemakaman para perwira tersebut. Sudah.


 Bahwa ada pembunuhan dan penindasan terhadap jutaan orang beberapa minggu sesudahnya, dan berlangsung selama bertahun-tahun, tak satu frame pun termuat dalam film itu. Bahwa ada rezim yang dibangun di atas tumpukan mayat orang tak bersalah yang tersebar di berbagai kuburan massal tanpa nisan di seluruh Indonesia itu tak jadi film wajib yang harus ditonton semua pemirsa TV, anak sekolah di bioskop, selama bertahun-tahun.


 Tidak heran kalau orang Indonesia lantas jadi tidak peka terhadap impunitas dan kekerasan yang melingkupi, dan terjadi di sekitarnya. Mereka terperangkap, karena imajinasi mereka menyetujui, bahwa ada kekerasan (pembunuhan, pembantaian) yang perlu dilakukan--demi kebaikan atau tujuan yang lebih besar. Yang perlu kita ketahui kejahatan yang diperlukan (necessary evil itu) seringkali, hampir setiap kali, sebetulnya hanyalah kejahatan, yang digembar-gemborkan, dipropagandakan sebagai "diperlukan/necessary." Daya tangkal kita sebetulnya adalah kemampuan berimajinasi dan berpikir kritis. Sayangnya, amarah, provokasi, dan kebuntuan hati sering menumpulkan dan memangkas pikiran kritis. Manusia jadi gampang dihasut, lalu dihibur dengan berbagai propaganda yang menjustifikasi bahwa pembunuhan tersebut terpaksa, membela diri, demi ini dan demi itu.


 Nah, kembali lagi ke film The Act of Killing/Jagal, kita dibawa ke alam fantasi para pembunuh itu. Bukan hanya bagaimana, serta fantasi apa yang mereka bangun dan sediakan untuk orang Indonesia, tetapi juga bagaimana fantasi/imajinasi seseorang berperan dalam perbuatan pembunuhan (act of killing) itu sendiri. Bagaimana film mengilhami seseorang untuk menggunakan tekniknya, bagaimana seseorang membayangkan dirinya sebagai bintang film yang berperan ketika membunuh orang lain supaya pembunuhan jadi lebih mudah dilakukan.


 Film ini begitu menyentak. Mencubit penonton dengan sangat keras, apalagi orang Indonesia, untuk membangunkan kita dari mimpi buruk yang masih terus kita jalani begitu lamanya sehingga kita terbiasa dan menganggapnya sebagai realita. Menonton film ini membuat kita terjaga, membuat kita sadar bahwa realitas yang kita lihat sehari-hari sepenuhnya telah terbungkus oleh hiasan manis untuk menutupi borok-borok sejarah yang terbuka menganga penuh nanah dan belatung.


 Kita perlu segera menyembuhkan luka itu. Cara terbaik adalah dengan pertama-tama, membongkar bungkus hiasan manis, fantasi yang disediakan oleh rezim Orde Baru itu. Kita harus lepas dulu dari propaganda itu. Kita harus bangun dari mimpi buruk ini. Tidak mungkin bangsa atau pemimpin bangsa ini memulai rekonsiliasi atau meminta maaf secara resmi dalam tidur, belum menyadari apalagi mengakui borok yang tersimpan dalam sejarah itu. Permintaan maaf yang disampaikan ketika bermimpi itu tidak ada bedanya dengan ngelindur. Tidak akan digubris, membawa perubahan berarti, apalagi diucapkan sambil lalu dalam pidato yang juga membahas keberhasilan pembangunan dan stabilnya harga beras.


 Kalau kita termasuk yang sulit bangun, atau memang lebih menyukai tidur, saran saya: tonton film ini. Lalu mulailah berbagi cerita.


 Karena perubahan, dimulai ketika orang berbagi cerita.


 -------------------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun