Mohon tunggu...
Marina Novira
Marina Novira Mohon Tunggu... Pengabdi -

mencoba mencipta "bobot"....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Fragmen: 13 Celoteh Basi

26 September 2014   03:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:30 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana ia menerjemahkan awan merah saga,

ia simpan jutaan cerita dan gemuruh yang kau sembunyikan pada siang pada malam.

Sebagaimana ia memulas senyum mentari,

dengan sebelah sayap membawamu ke puncak larik pelangi.

Ia tahan gelombang paling dahsyat hingga jadi beliung,

menghujami tubuhnya dengan palung agar kau tak terkoyak.

Kau tahu?

Apa yang ku ternyata bukan mu.

Kau segala yang ku inginkan

sekaligus segala yang tak mungkin dapat ku miliki.

Sekalipun dalam mimpi. Dibenakku sendiri.

Membangunkan kau setiap pagi,

lebih sulit daripada menyiapkan kenduri puisi.

Selalu ada tawa disana. Selalu rindu pagi kita.

"Pagi yang mana?" Tanyamu sembari lalu.

Sembari tertawa.

Kita hanya tepian luka.

Seberapa lama kita sanggup meggenggam rasa

dengan tangan berdarah dengan duri mengoyak nadi dengan kerap

meninggalkan nyeri tanpa masing-masing mampu saling mengobati?

Dejavu.

Maka aku menunggunya hingga menjelang pagi.

Membuatkannya secangkir teh manis panas.

Menjadi muara cerita luka, sesal, benar, bangga

dan kita hanyut mengembara bersama semesta.

Sayang, pada kanvas luka yang melukis sendiri,

apakah kita pernah jumpa ?

Cincin imaji

yang kau sematkan dijariku tak lagi mau lepas sendiri.

Namun kita hanya pemilik hari ini.

Harapan telah tertinggal jauh dihalaman belakang.

Seperti kita yang selalu setia membingkai sejarah.

Kau inginkan cinta tanpa airmata?

Ahh… mungkin kau lupa kisah Surga, Adam dan Hawa.

Cinta itu peleburan semua rasa.

Airmata? Itu biasa.

Demikianlah jeda bercerita

dengan belati di hati.

Aku sekarat dihantam sejarah yang berkarat.

Senjaku masih tergagap menyingkap makna,

jingga matamu kau simpan dimana?

Kata sayang.

Pada akhirnya mampu kutangkap tatap teduh

pijar matamu sembari melafal sayang.

Tak kutemukan aku disitu.

Tentang Akhir. Seperti halnya engkau, aku tak akan mampu membaca takdir.  Kau pun tak mungkin sanggup mengungkap tabir. Pada masa kau mengucap janji dihadapan kitab suci, tak ada lagi yang tersisa bagi kita kecuali doa. Agar dapat kau hempas seribu wajah yang mengikis habis kebenaran hingga jadi abu. Demikianlah akhir puisiku mencekat beku.

-------

Medio: Jakarta, 21 September 2014

Revisi: Bali, 25 September 2014

Image:  sekali-kali pakai koleksi pribadi boleh yaaa...

Catatan:

Seorang kawan yang sempat membaca boleh di bilang "protes" karena bingung oleh "lompatan antar paragraf" katanya. Ia bingung bagaimana menghubungkan paragraf-paragraf tersebut karena "gak nyambung" tegasnya lagi. Ku bilang, "memang tidak akan nyambung, karena tulisan kali ini adalah kumpulan puisi". Sambil agak sedikit kesal dia bilang "keterlaluan lo ngerjain orang tua". Hihihihi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun