Sebagaimana ia menerjemahkan awan merah saga,
ia simpan jutaan cerita dan gemuruh yang kau sembunyikan pada siang pada malam.
Sebagaimana ia memulas senyum mentari,
dengan sebelah sayap membawamu ke puncak larik pelangi.
Ia tahan gelombang paling dahsyat hingga jadi beliung,
menghujami tubuhnya dengan palung agar kau tak terkoyak.
Kau tahu?
Apa yang ku ternyata bukan mu.
Kau segala yang ku inginkan
sekaligus segala yang tak mungkin dapat ku miliki.
Sekalipun dalam mimpi. Dibenakku sendiri.
Membangunkan kau setiap pagi,
lebih sulit daripada menyiapkan kenduri puisi.
Selalu ada tawa disana. Selalu rindu pagi kita.
"Pagi yang mana?" Tanyamu sembari lalu.
Sembari tertawa.
Kita hanya tepian luka.
Seberapa lama kita sanggup meggenggam rasa
dengan tangan berdarah dengan duri mengoyak nadi dengan kerap
meninggalkan nyeri tanpa masing-masing mampu saling mengobati?
Dejavu.
Maka aku menunggunya hingga menjelang pagi.
Membuatkannya secangkir teh manis panas.
Menjadi muara cerita luka, sesal, benar, bangga
dan kita hanyut mengembara bersama semesta.
Sayang, pada kanvas luka yang melukis sendiri,
apakah kita pernah jumpa ?
Cincin imaji
yang kau sematkan dijariku tak lagi mau lepas sendiri.
Namun kita hanya pemilik hari ini.
Harapan telah tertinggal jauh dihalaman belakang.
Seperti kita yang selalu setia membingkai sejarah.
Kau inginkan cinta tanpa airmata?
Ahh… mungkin kau lupa kisah Surga, Adam dan Hawa.
Cinta itu peleburan semua rasa.
Airmata? Itu biasa.
Demikianlah jeda bercerita
dengan belati di hati.
Aku sekarat dihantam sejarah yang berkarat.
Senjaku masih tergagap menyingkap makna,
jingga matamu kau simpan dimana?
Kata sayang.
Pada akhirnya mampu kutangkap tatap teduh
pijar matamu sembari melafal sayang.
Tak kutemukan aku disitu.
Tentang Akhir. Seperti halnya engkau, aku tak akan mampu membaca takdir. Â Kau pun tak mungkin sanggup mengungkap tabir. Pada masa kau mengucap janji dihadapan kitab suci, tak ada lagi yang tersisa bagi kita kecuali doa. Agar dapat kau hempas seribu wajah yang mengikis habis kebenaran hingga jadi abu. Demikianlah akhir puisiku mencekat beku.
-------
Medio: Jakarta, 21 September 2014
Revisi: Bali, 25 September 2014
Image: Â sekali-kali pakai koleksi pribadi boleh yaaa...
Catatan:
Seorang kawan yang sempat membaca boleh di bilang "protes" karena bingung oleh "lompatan antar paragraf" katanya. Ia bingung bagaimana menghubungkan paragraf-paragraf tersebut karena "gak nyambung" tegasnya lagi. Ku bilang, "memang tidak akan nyambung, karena tulisan kali ini adalah kumpulan puisi". Sambil agak sedikit kesal dia bilang "keterlaluan lo ngerjain orang tua". Hihihihi...