"Kenapa kamu yang sedih, percayalah, aku baik-baik saja." Aku mencoba menenangkannya dengan senyum terbaik yang bisa kubuat.
"Aku selalu benci, dengan sifatmu yang seperti itu. Aku gak pernah paham. Kenapa kamu selalu bersikap seperti itu? Kamu pikir, kamu sendirian? Kamu selalu bilang kepada kita semua, kalau kita semua adalah sahabat terbaikmu. Tapi kenapa kamu selalu melakukan dan memutuskan semuanya sendiri? Apa kamu tidak percaya pada sahabatmu sendiri?"
"Kamu tahu, bukan aku tidak percaya pada kalian, hanya saja, aku tidak ingin membebani kalian dan hubungan kita semua karena perasaanku seorang." Perasaanku seperti terombang-ambing oleh perkataannya itu.Â
"Kamu tahu gak, dengan kamu terus-terusan bersikap seperti itu. Melukai dirimu sendiri seperti itu, secara tidak langsung kamu sudah melukai perasaanku, perasaan kita semua yang benar-benar peduli sama kamu." Suaranya keras menggelegar layaknya halilintar dan diapun menangis sejadi-sejadinya.
Aku hanya bisa terdiam melihat itu semua. Aku tak mampu membalas kata-katanya itu. Tangisan seorang sahabat yang benar-benar tulus, yang derasnya mengalahkan deru hujan malam ini, mampu meruntuhkan tembok nuraniku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H