Tepat sehari yang lalu, saya baru saja menuntaskan perjalanan jarak jauh saya bersama kawan-kawan kuliah ke Jawa Tengah menggunakan sepeda motor dari Jakarta. Melintasi jarak total sejauh 1.283 kilometer, Â tentu sangat banyak pengalaman dan pemikiran baru yang didapatkan melalui perbincangan dan kejadian-kejadian yang kami lihat dengan mata kepala sendiri. Akan tetapi, dalam kesempatan kali ini, pemikiran terbaru yang menjadi growing sense of crisis saya terlahir dari sebuah pengalaman dengan harga yang sangat murah: lima belas ribu.
Sesuai dengan judul dari artikel ini, tulisan ini hadir atas pemikiran yang timbul ketika saya dan kawan-kawan tiba di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kondisinya saat itu, kami sudah berjalan dengan cukup lama dan cukup jauh sehingga kami memutuskan untuk mencari tempat makan terdekat yang berada dipinggir jalan.Â
Tak lama usai berkoordinasi melalui grup Whatsapp, kawan kami yang berada di paling depan berhenti dan menemukan sebuah gerobak bakso yang berjualan didepan warung makan yang sedang tutup. Kami pun beriringan turut memparkir motor kami dan memesan semangkuk bakso.
Awalnya, tidak ada kecurigaan ataupun keresahan ketika melihat pedagang bakso tersebut menyiapkan pesanan kami, walaupun porsi yang diberikan memang terlihat sangat sedikit dan kurang menarik.Â
Pikir saya, mungkin baksonya memang seenak itu (Jawa Tengah terkenal dengan bakso dan mie ayamnya yang enak dan murah) sehingga pedagang ini hanya memberikan sajian dengan porsi yang sangat kecil. Namun, keresahan mulai muncul ketika saya melihat pedagang tersebut mengambil komponen-komponen dari semangkuk bakso tersebut (contoh seperti mie kuning, bihun) dengan tangan telanjang tanpa menggunakan media apapun seperti garpu, sendok, capitan atau sarung tangan plastik.
Kendati akan hal tersebut, saya masih belum goyah dan masih berprasangka bahwa semangkuk bakso ini akan tetap menjadi hidangan yang lezat. Segenap keresahan dan kekesalan saya muncul ketika saya duduk di meja dan tengah mencoba suapan pertama saya. Saya baru tersadar bahwa mie yang tengah saya santap mempunyai rasa yang sangat aneh seperti basi dan tekstur berlendir.Â
Aromanya pun ternyata sedikit berbau busuk sehingga memaksa saya untuk menyudahi santapan tersebut. Tentu saya segera mengkonfirmasi hal tersebut kepada kawan-kawan saya, apakah memang mie tersebut sudah tidak layak dan pantas atau dimakan atau memang indra pengecapan saya yang sedang bermasalah. Seluruh kawan saya kemudian sepakat bahwa mie tersebut memang sudah tidak layak dimakan.
Kondisi fisik yang sangat lelah dan lapar membuat saya sangat jengkel terhadap keadaan yang saat itu terjadi. Pasalnya, lokasi tujuan masih sangat jauh dan kami hanya berhenti beberapa jam sekali untuk istirahat dan makan, sehingga ini akan menjadi perjalanan yang cukup menyebalkan karena saya akan berjalan dengan perut yang lapar hingga pemberhentian selanjutnya.Â
Kekecewaan saya juga bertambah ketika mengetahui semangkuk bakso dengan pengalaman tidak mengenakkan tersebut mempunyai harga sebesar lima belas ribu, alias saya bisa mendapatkan satu mangkuk bakso dengan dua kali lipat porsi yang tentunya enak dan layak makan di daerah rumah saya.
Namun, biarlah pengalaman tersebut menjadi sebuah kisah traveling yang akan menjadi bahan tertawaan dan memori yang lucu untuk diceritakan kelak nanti. Sebuah perspektif yang berhasil saya petik melalui pengalaman tersebut adalah: sebuah fakta mengenai ketidakmampuan sang pedagang untuk melakukan sebuah quality control terhadap produknya sehingga menimbulkan potensi kerugian yang sangat tinggi bagi orang-orang disekitarnya.Â
Contohnya saya, sebagai konsumen produknya apabila saya tidak segera sadar dan terlanjur menghabiskan santapan tersebut dengan entah berapa banyak bakteri jahat yang telah tumbuh di mie tersebut. Entah akan menjadi semenyusahkan apa saya apabila pada perjalanan kemarin saya terkena diare yang mengharuskan saya untuk pergi ke WC setiap satu jam sekali, tentu saya juga akan turut merugikan kawan-kawan saya yang memiliki waktu terbatas dalam melakukan perjalanan ini.
Kasus ini menjadi suatu perspektif yang sangat menarik apabila kita turut melihat dari sudut kausalitas yang terjadi. Apa yang menyebabkan pedagang ini berani untuk menjual produk tidak layak dimakan tersebut? Apakah memang karena niatnya yang jahat dan ingin meracuni (namun untuk apa?) atau justru karena ketidaktahuannya terhadap mekanisme dan prosedur berjualan yang baik dan benar?Â
Apabila karena ketidaktahuan, maka mengapa ia memutuskan untuk berjualan dengan segala ketidakmampuannya ketika di luar sana, ribuan orang justru melakukan kebalikannya- menghabiskan sebanyak mungkin waktu untuk memastikan kualitas dan fundamental terlebih dahulu? Apakah pedagang tersebut terpaksa karena tuntutan dan kondisi ekonomi sehingga ia nekat memulai tanpa adanya prior knowledge atau justru, ia tidak mendapatkan akses terhadap prior knowledge?
Pertanyaan-pertanyaan ini berhasil mengantarkan saya terhadap suatu pemikiran yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, yakni suatu pemikiran mengenai ketimpangan. Berangkat dari apa yang saya alami, seharusnya saya tidak heran ketika saya membandingkan pengalaman tidak mengenakkan yang terjadi dengan kondisi dan lokasi tempat saya membeli semangkuk bakso tersebut (posisinya tidak jauh dari perbatasan dan masih sangat jauh dari kota-kota besar Jawa Tengah) sebagaimana wilayah tersebut hanya dipenuhi oleh jalur-jalur vegetasi dan perkebunan.Â
Rasanya kemudian tidak adil apabila saya menumpahkan seluruh kejengkelan saya terhadap pedagang bakso gerobak ini karena membandingkan ia dengan pedagang-pedagang bakso lain di kota sana, tentu mereka-mereka yang berada diluar sana mempunyai pengetahuan yang lebih luas melalui akses edukasi dan informasi yang mereka peroleh.
Namun, apakah kemudian hal ini menjadi suatu hal yang harus dimaklumi ketika seorang pedagang bakso yang telah memutuskan untuk berjualan, justru menjual produk tidak layak santap kepada pembelinya entah karena ia sengaja maupun tidak? Tentu saja tidak. Tindakan tersebut akan tetap berakibat buruk dan mengantarkan kita justru kepada suatu kondisi yang lebih bodoh, yakni terkalahkan oleh kebodohan yang seharusnya bisa dihindari.Â
Lucunya, apabila kita melihat korelasinya terhadap kehidupan sehari-hari, hal tersebut justru terjadi bukan hanya dalam kasus semangkuk baso namun justru dalam berbagai sektor termasuk pendidikan. Hadir sebagai salah satu contoh, salah satu guru bahasa inggris saya yang mengajari siswa-siswinya bahwasanya bahasa inggrisnya kebun binatang (zoo) adalah animal garden. Mirisnya, mayoritas seringkali terbelenggu oleh moralitas dan sopan santun yang seolah-olah melarang kita untuk membenarkan apa yang memang salah atau menyimpang dan memaksa kita untuk memakluminya.
Hal inilah yang kembali merekatkan saya kepada buku Genealogi Moral oleh Friedrich Nietszche. Bahwasanya moralitas sesungguhnya adalah suatu batasan fana yang lemah secara historis dan dengan demikian, harus senantiasa kita telisik terlebih dahulu secara personal guna menentukan nilai apa yang hendak diyakini dan nilai apa yang hendak dibuang.Â
Pengalaman membeli bakso seharga lima belas ribu inilah yang telah memberikan saya bukti lebih jauh lagi mengenai bahayanya moralitas yang terbentuk oleh konstruksi sosial tidak berdasar, dan terhadap ketimpangan akses yang justru akan mengantarkan kita kepada jurang keruntuhan yang didasarkan oleh kebodohan. Suatu harga yang sangat murah untuk menghadirkan sebuah pemikiran dan kesadaran akan suatu krisis yang mengintai, semoga lima belas ribu yang lainnya akan terus berdatangan dan menyadarkan secara berkala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H