Mohon tunggu...
Raina Azura Susanto Putri
Raina Azura Susanto Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Akuntansi di Trisakti School of Management

Hi, I'm Raina and welcome to my page account. Please enjoy my writings!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Lebih Baik Mencegah daripada Kehilangan; Kisah Pilu Erupsi Gunung Semeru

14 Desember 2021   23:31 Diperbarui: 14 Desember 2021   23:39 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Erupsi merupakan proses alami yang melibatkan proses endogen dan disebabkan oleh ketidakstabilan dapur magma. Pusat Mitigasi Risiko Vulkanik dan Geologi (PVMBG) melihat peningkatan aktivitas vulkanik sejak November berupa letusan gunung berapi, salah satunya peningkatan aktivitas di Gunung Semeru.

Jumlah korban tewas akibat awan panas di Gunung Semeru bertambah 2 orang. Dengan kata lain, jumlah kematian yang tercatat per Senin 13 Desember 2021 sebanyak 48 orang. Sedangkan jumlah pasien rawat jalan di Puskesmas dan Rumah Sakit sekitar sebanyak 2.004 orang.

Yang harus diperhatikan dalam kejadian seperti ini adalah bahwa peristiwa semacam ini harus dapat diprediksi untuk meminimalkan korban berjatuhan. Namun, kenyataan yang terjadi benar-benar diluar gambaran karena meski permukiman tersebut berada di zona bencana, para korban tidak diperingatkan oleh sistem peringatan dini. Hal ini sangat disayangkan karena korban menganggap bahwa tidak ada tindakan yang diambil khususnya oleh pemerintah untuk meminimalkan kerusakan.

Warga sekitar juga mengatakan bahwa saat terjadi bencana, sistem evakuasi tidak berfungsi dengan baik serta Ttempat dimana titik evakuasi berada, terdapat di area yang kurang aman karena tempat tersebut juga masih dapat terjangkau oleh awan tebal.

Namun Pihak Kepala Pusat Mitigasi Bencana Vulkanik dan Geologi (PVMBG), mengatakan peringatan dini sudah dilakukan. Namun, karena tidak semua warga sekitar Gunung Semeru memiliki akses Internet, informasi yang didistribusikan sulit untuk diakses.

Bahkan, PVMBG telah mengklasifikasikan status waspada sejak lama. Penilaian bahaya diaktifkan dan organisasi yang terlibat perlu disosialisasikan leboh lanjut. Semeru mengalami peningkatan aktivitas dalam beberapa pekan terakhir dengan jarak turunnnya awan panas hampir menjangkau sejauh empat kilometer. 

Meski PVMBG melaporkan jarak awal awan panas pada Minggu 5 Desember hanya empat kilometer, namun setelah dilakukan pengecekan pada hari Senin, disebutkan jarak awal awan panas sejatinya bahkan sampai ke jarak sejauh 11 km.

Ahli vulkanologi UGM Dr. Danang Sri Hadmoko berkata bahwa "Letusan gunung api itu tidak bisa dicegah, tidak seperti longsor, banjir. Karena itu manusianya harus beradaptasi. Ada dua langkah, yaitu mitigasi dan adaptasi,"

Diketahui bahwa jumlah korban bencana erupsi Gunung Semeru ini merupakan salah satu yang terbesar sepanjang sejarah erupsi Semeru. Untuk mencegah dampak lebih lanjut, BNPB dan pemerintah daerah harus memastikan bahwa semua kebutuhan dasar pengungsi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sanitasi terpenuhi tepat waktu. 

Tanggap darurat adalah fase pertama yang dilakukan segera setelah bencana terjadi dan berlanjut ke fase pemulihan serta rekonstruksi. Setelah kondisi menjadi lebih stabil, langkah selanjutnya adalah merumuskan langkah-langkah mitigasi bencana.

Peran mitigasi penting terletak pada sejauh mana dampak bencana dapat dipadamkan dan kerugian finansial menjadi seminim mungkin akibat bencana. Sayangnya, sistem mitigasi bencana di Indonesia tidak ditanggapi secara serius.

Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan setidaknya ada 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Hanya 9,5% di antaranya yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam dan 6% bersiap dengan menyediakan jalan untuk proses evakuasi. 

Berdasarkan pemahaman tersebut, perlu ditetapkan sistem mitigasi bencana secara khusus dengan mempertimbangkan jenis risiko bencana dan kondisi sosial budaya masyarakat. Jika suatu waktu terjadi erupsi lainnta, spesifikasi mitigasi bencana harus ditetapkan dengan fokus pada proses bencana dan basis pengetahuan penduduk sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun