Mohon tunggu...
Raihan Syafitra
Raihan Syafitra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Jakarta

Membaca, Introvert, Konten favorit Sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi dan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah

21 November 2022   11:38 Diperbarui: 21 November 2022   11:39 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Membahas mengenai korupsi, kita tentu langsung terbayang tentang  para pejabat yang hanya memikirkan 'kantong' pribadinya masing-masing. Menurut KBBI Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.  Korupsi sudah ada di negeri kita sejak berabad-abad yang lalu (jauh sebelum datangnya bangsa Eropa) budaya korupsi sudah ada negeri kita. Perilaku ini tercatat dalam Prasasti Rumwiga yang ditemukan pada 1992, dalam prasasti Rumwiga diceritakan tentang penyimpangan pajak oleh petugas pajak dan pemberi pajak. Perusahaan multinasional terbesar pada saat itu yaitu VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) bubar faktor utamanya dikarenakan korupsi yang dilakukan oleh para pegawainya. Bahkan ada yang menyebut VOC sebagai Vergaan Onder Corruptie yang berarti hancur karena korupsi.

    Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen dari hasil panennya dan diduga hanya 20 persen yang dibawa ke negara Belanda. Selebihnya (60 persen) hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten. Salah satu teori genealogi korupsi Indonesia modern berasal dari masa pendudukan militer fasis Jepang, yang mempekerjakan aparatur lokal yang licik dan serakah kemudian mewariskan sistem yang sudah rusak itu pada era kemerdekaan Republik Indonesia.

    Sejak Indonesia merdeka (pasca 1945), korupsi juga telah mengguncang sejumlah partai politik. Periode tersebut memang dipenuhi gonjang-ganjing korupsi, konflik kepentingan, dan pemberontakan. Deskripsi tentang kehidupan penguasa dan politisi korup pada zaman Orde Lama bisa dibaca jelas dalam novel Senja di Jakarta, karya wartawan senior (Mochtar Lubis). Pada masa Orde Baru pemerintah membuat lembaga-lembaga anti korupsi, namun Lembaga tersebut tidak efektif dan jauh dari kata maksimal. Lembaga-lembaga tersebut tidak berwenang menindak, tidak pula dibangun sinergi dan pembenahan antar Lembaga penegak Hukum.

   Pada masa reformasi upaya untuk memberantas korupsi semakin nyata dengan dibentuknya Lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan pembenahan-pembenahan, serta sinergi antar Lembaga Penegak Hukum yang bertujuan untuk memutus rantai korupsi. Korupsi meningkatkan kemiskinan masyarakat di sebuah negara, juga turut berpengaruh pada sulitnya masuk Investasi. Korupsi juga meningkatkan tindakan kejahatan (kriminalitas), dikarenakan seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara layak. Hal ini secara otomatis membuat kepercayaan publik menurun karena negara dianggap tidak mampu menjamin keadilan, keamanan, dan kesejahteraan.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun