Pendapat ulama bermacam-macam tentang hukum dan ketentuan dalam Poligami, meskipun dasar pijakan mereka adalah sama, yakni QS. an-Nisa‟ (4): 3.
وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai. Banyak Muslim yang gugur menjadi syuhada. Akibatnya banyak anak menjadi yatim dan janda karena ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka (Nasution, 1996: 85). Kondisi inilah yang melatarbelakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.
Dalil maksimal empat istri juga termaktub dalam sebuah hadist :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَّنَ غٍَْلَاّنَ بْنَ سَلَمَتَ الّثَقَفًَِ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْىَةٍ فًِ الْجَاهِلٍَِتِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ الّنَبًُِ صَلَى اللَهُ عَلٍَْهِ وَسَلَمَ أَّنْ ٌَتَخٍََرَ أَرْبَعًا مِّنْهُنَ .) رواه ترمٍدي
“Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat di antaranya.” (HR. Tirmidzi).
Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Artinya boleh dan dapat dilakukan dalam keadaan darurat dan dengan orang yang benar-benar membutuhkan. Ia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Ia membuat catatan ini untuk dengan tujuan menunjukkan bahwa sangat penting kita harus berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, beberapa menurut Al-Maraghi :
1) Karena istri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan.
2) Apabila suami memiliki kebutuhan seks yang tinggi sementara istri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya.
3) Jika suami memiliki kelebihan harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak.