Mohon tunggu...
Raihan Otman Marolop
Raihan Otman Marolop Mohon Tunggu... Lainnya - Sastra, Opini

Seorang mahasiswa. Menulis apa saja untuk mengeluarkan penat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rakyat Sebagai Tumbal Demokrasi

26 Januari 2024   13:33 Diperbarui: 12 Februari 2024   03:24 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang masa Pemilu (Pemilihan Umum) pada 14 Februari 2024, terdapat beberapa fenomena yang dapat dilihat secara nyata maupun maya seperti datangnya timses-timses dari caleg secara individu maupun partai kepada masyarakat yang tidak pernah sebelumnya datang dan kemungkinan tidak akan lagi datang. Di dunia maya sendiri masyarakat disajikan berbagai teknik pemasaran oleh partai-partai politik hingga kadernya dalam menarik perhatian, contohnya seperti caleg yang blusukan dan mengevaluasi kerja pejabat struktural.

Hal-hal yang terjadi saat ini adalah strategi klasik bahkan kontemporer perihal tingkat keahlian marketing yang dimiliki setiap kelompok. Namun, terdapat beberapa cara klasik yang digunakan hingga saat ini dan menimbulkan keresahan dan korban, yaitu pemasangan bendera dan baliho di tempat publik yang sebenarnya merusak pandangan dan tidak enak dipandang (untungnya sudah tidak lagi menjabat Tuan Rumah G-20 dan ASEAN Chairmanship).

Bahkan, beberapa konten media sosial sudah mulai untuk menyindir bahkan secara tegas resah dengan keberadaan spanduk-spanduk tersebut.
"Jalan lurus saja, nanti ketemu spanduk (nama caleg) baru belok kiri."

Lalu, saya merangkum beberapa pertanyaan dari diri saya secara individu terhadap keberadaan atribut-atribut tersebut:

  • Mengapa keresahan masyarakat tersebut tidak didengarkan oleh partai politik maupun para caleg?
  • Apakah rakyat hanyalah alat untuk mencari kepentingan?
  • Apakah rakyat hanya wadah janji buruk mereka?
  • Bagaimana dengan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan?
  • Apakah mereka memiliki telinga yang pantas untuk melakukan riset lapangan?
  • Bagaimana jika para calon wakil rakyat dan pemimpin negara ini adalah kelompok tersendiri di luar masyarakat?
  • Bagaimana jika para caleg dan parpol yang secara massal membuat atribut-atribut tersebut sebenarnya tidak mengerti Pancasila dan hanya berasaskan kepentingan nurani?


Lalu pertanyaan saya berlanjut:

APAKAH MASYARAKAT ADALAH TUMBAL DEMOKRASI KELOMPOK KEPENTINGAN?

Menjadi sangat pantas jika alasan masyarakat hendak menjadi kelompok golput (tidak melakukan pencoblosan saat Pemilu) dikarenakan tidak ada wakil rakyat terbaik karena ternyata kita hanya disajikan pilihan-pilihan terburuk yang ada di negara ini. Saya kembali bertanya perihal tindakan pasca Pemilu:

  • Akankah mereka mengingat rakyat?
  • Bilamana rakyat menuntut janji, apakah mereka akan berlindung dibalik aparat?
  • Apakah mereka hanya akan menghormati komunikasi kepada yang setara kelas sosialnya dengan mereka dan bahkan di atasnya
  • Bagaimana jika mereka hanya berdiam di balik kursi dan mengandalkan absensi saat rapat guna mendapatkan tunjangan dan gaji?

Pertanyaan terakhir saya adalah demikian:

APAKAH DEMOKRASI AKAN MATI PASCA PEMILU DAN HIDUP PADA H-30 PEMILU PERIODE SELANJUTNYA?

Tulisan-tulisan idealis yang sudah saya buat di atas hanya isi pikiran saya, jika tidak setuju dipersilakan.

Pixabay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun