Mohon tunggu...
Raihan Otman Marolop
Raihan Otman Marolop Mohon Tunggu... Lainnya - Sastra, Opini

Seorang mahasiswa. Menulis apa saja untuk mengeluarkan penat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulik Perang Rakyat Tahun 2000-an

23 November 2020   15:20 Diperbarui: 23 November 2020   15:34 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"PERANG DI INDONESIA bukanlah perang yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dengan maksud menindas bangsa asing. Perang rakyat Indonesia adalah sebaliknya, yaitu perang yang terpaksa dilakukan untuk menolak penindasan asing atas rakyat Indonesia."

Bab Sepuluh (Perang Rakyat)

GERPOLEK (Gerilya Politik Ekonomi)

Dua kalimat yang mudah untuk diterjemahkan pada masa-masa perjuangan namun semakin sulit sembari waktu berjalan hingga pada saat sekarang. Kesulitan yang didapatkan tak jauh dari perkataan  Soekarno yang demikian, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah namun perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri," skakmat. 

Tan Malaka yang notabenenya seorang pahlawan dan seorang filsuf dengan ideologi komunis menegaskan kenyataan pada masa lampau di mana seluruh pejuang menginginkan kemerdekaan secara utuh tanpa adanya campur tangan bangsa manapun dalam pemerintahan Indonesia hal tersebut merupakan usul yang baik pada masa itu namun pada masa kini hal tersebut akan sulit dilakukan. Pada kenyataannya dengan kebebasan media dimasa reformasi merupakan 'jerat' bagi pemerintah era reformasi jika tidak disaring lebih dalam, hal tersebut dapat menghancurkan setiap rezim yang memimpin jalannya pemerintahan di Indonesia tanpa terkecuali.

Perang rakyat yang saya maksud di sini adalah perang antar rakyat karena faktor keteledoran, mis-komunikasi, berita bohong dan sikap terlalu percaya pada setiap perkataan orang. Terkadang suudzon baik dilakukan sebagai langkah mengantisipasi terjadinya konflik namun suudzon sendiri dapat menjadi bensin bagi konflik yang sudah ada. 

Masyarakat tidak mau melangkah pelan-pelan terhadap tragedi baru di negara ini, mereka ingin menjadi bagian dari sebuah tragedi tanpa melangkah, langsung meloncat, itupun tumpuannya kurang kuat. Hal tersebut semakin diperparah dengan persentase populasi remaja di Indonesia yang eledak dan dikenal sebagai kaum milenial, dengan sikap dasar remaja yang tidak mau sabar, ingin menunjukkan jati diri dan malas berfikir karena ingin langsung bertindak, ajar saja Indonesia sedang dalam ancaman konflik dalam skala masif yang disebabkan oleh generasi milenial yang mudah 'dikompori' generasi yang lebih tua.

Kembali pada kutipan yang saya ambil dari buku Gerpolek, para pejuang menginginkan kemerdekaan secara penuh, seratus persen, tidak kurang sama sekali. Meningkatnya jumlah kaum intelektual pada masa itu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang baru belajar tentang kemerdekaan dan menginginkan sebuah revolusi untuk kemerdekaan tanpa diplomasi di mana hal tersebut baik bagi masa penjajahan namun di sisi lain, diplomasi dibutuhkan sebagai tombak yang halus untuk mendapatkan kemerdekaan tersebut walaupun kita tidak mengetahui secara utuh hasil dari diplomasi tersebut. 

Para pejuang ingin menegakkan hak asasi manusia sebagai dasar kemerdekaannya, mereka ingin bebas dari penjajahan dan bebas berekspresi sepanjang waktu karena memang pemikiran bangsa Indonesia yang baru 'naik kelas' pastinya memiliki banyak kata untuk dituliskan dan banyak suara untuk didengarkan. Sebagai contohnya yaitu Tan Malaka sang penulis dan juga seorang yang dicap sebagai intelektual senior pada masa itu, beliau menuliskan keinginan besarnya terhaap kemerdekaan Indonesia dengan cara perlawanan terhadap unsur kolonialisme dan imperialisme di berbagai buku hasil karyanya, salah satunya adalah buku ini yaitu Gerpolek.

Kenyataan yang kini sedang berjalan menjadi pertanda dimulainya perang antar rakyat yang menurut saya dipisahkan antara masyarakat dengan informasi yang benar melawan masyarakat dengan informasi yang salah. Seperti pada umumnya masyarakat yang mengetahui informasi yang benar biasanya akan diam saja karena puas mendapatkan jawaban namun masyarakat dengan informasi yang salah tidak akan diam melainkan memberontak dikarenakan berita yang salah tersebut biasanya menawarkan informasi yang menyulut emosi. 

Peran pemerintah yang salah satunya mencegah konflik dihalang-halangi oknum yang mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut sehingga para pemain utama dala konflik tersebut menjadi semu. Tetapi di lain sisi, pemerintah terkadang mendapatkan keuntungan dari konflik yang terjadi dengan membiarkan konflik tersebut semakin besar dengan dua pertimbangan yaitu konflik tersebut akan hilang dengan sendirinya ataupun dengan konflik yang semakin besar dan semakin berani, akan lebih mudah peerintah mencari celah, mencari subjek pencarian dan mencari jejak pelanggaran hukumnya.

Dalam esai ini, saya membandingkan kondisi pada masa Tan Malaka menulis buku ini dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang yang jelas berbeda drastis. Masa perjuangan adalah masa di mana semua rakyat bersatu hati melawan segala bentuk kolonialisme dan imperialisme bahkan menyatakan kesatuannya lewat Sumpah Pemuda demi mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. 

Berbeda dengan masa sekarang di mana para aktor pemain politik dan dalang konflik menjadikan problema pada masa lalu dan dibuat seolah-olah terulang dimasa sekarang namun dalam konteks masyarakat se-negara yang lain pilihannya menjadi target utama penyerangan. Media sosial sebagai wadah aspirasi, menyalurkan energi, sarana mencari jati diri dan sebagi ranah berekspresi dijadikan arena radikalisme terselubung oleh para oknum yang ditujukan kepada masyarakat yang kurang mampu untuk menyaring informasi sehingga dipercaya dan semakin berkembang keberadaan hoax itu.

Pandangan saya yang mungkin merupakan pandangan orang banyak menyatakan bahwa konflik besar pada masa lalu sengaja 'direka ulang' dan disesuaikan dengan kejadian yang sedang 'panas'. 

Dengan masyarakat yang berjumlah ratusan juta jiwa, pemerintah dengan lembaga pengawasannya tidak mampu secara keseluruhan memantau kondisi penyebaran informasi karena cakupan negara yang sangat luas dan juga di dalam lembaga itu pasti ada 'jin' yang bermain demi keuntungan pribadi atau beramai - ramai. Kenyataannya pada saat sekarang di mana berpendapat merupakan kebebasan, masyarakat menggunakan kesempatan tersebut dengan kurang baik sehingga muncul berita bohong, pemfitnahan, diskriminasi dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun