Bagi kalian yang malas membaca buku-buku tetralogi Pramoedya Ananta Toer karena tebalnya atau karena tiada waktu tapi kepo sangat dengan tulisannya, cobalah baca buku berjudul Bukan Pasar Malam (1951) yang hanya setebal 104 halaman ini. Bagiku sendiri, buku ini sama dahsyat bahan memiliki kekuatan yang takd apat dibandingkan dengan Bumi Manusia- sila sependapat atau tidak.Â
Kenapa? Karena roman karya Pram ini mengkritik orang-orang Indonesia pasca kemerdekaan. Bagaimana orang Indonesia memperlakukan dan memandang orang Indonesia lainnya.Â
Jadi masih sungguh sangat relevan dengan kejadian hari-hari belakangan ini. Buku ini pertama kali dicetak oleh Balai Pustaka dan dilarang terbit pada 30 November 1965.
Pada tahun 1999, novel ini diterbitkan kembali oleh Bara Budaya. Dicuplik dari laman wikipedia, oleh sebagian pembaca, Bukan Pasar Malam, sering disimpulkan sebagai roman yang bernuansa religius, beraura mistik, dan mengandung pergulatan eksistensial diri manusia ketika berhadapan dengan maut, di samping ironi seorang pejuang kemerdekaan yang kecewa dan tak mendapatkan tempat yang layak- justru ketika kemerdekaan yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan itu sudah terwujud.
Sebagaimana ditulis oleh penerbit Lentera Dipantara (2004) , kisah-kisah yang dituturkan tokoh aku pada roman ini tidak hanya mengkritik kekerdilan diri sendiri, tetapi juga menunjuk muka para jenderal atau pembesar-pembesar negeri pasca kemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri sendiri.
Seorang pejuang memang selalu terasing dan kesepian- mengutip Soe Hok Gie.
Salam literasi !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H