Secara historis, negara manapun, dimanapun, serta kapanpun dipastikan selalu ada permasalahan-permasalahan yang muncul baik besar atau kecil, maupun dalam negeri atau luar negeri. Dalam hal ini tidak terlepas dari kasus korupsi, beberapa pendapat mengatakan korupsi tidak akan hilang sepenuhnya dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat, dikarenakan sifat 'rakus' manusia. Tetapi, perlu dititikberatkan bahwasanya hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku korupsi.
Secara etimologi, istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptus atau corruption yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang busuk, rusak, menyogok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara demi kepentingan kelompok atau pribadi. Tindakan korupsi tidak hanya terjadi terhadap seseorang yang mempunyai kekuasaan tertinggi, pada tingkatan bawah kemungkinan korupsi masih terjadi.
Korupsi bukan merupakan hal yang baru di masyarakat Indonesia saat ini, walaupun ada beberapa pendapat berbeda mengenai awal kasus korupsi di Indonesia, tetapi catatan yang paling populer tentang awal mula kasus korupsi di Indonesia adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia pada tahun 1958. Bahkan, di tahun yang sama istilah korupsi muncul di Indonesia, lewat Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi.
Korupsi dapat dianalogikan sebagai sebuah penyakit kronis yang dapat menghancurkan organisme secara perlahan dan kemudian hancur. Hal ini yang terjadi pada salah satu organisasi perdagangan terbesar di dunia pada masa lampau yaitu VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang mana salah satu faktor terbesar organisasi ini runtuh adalah karena perilaku korup pejabat VOC. Tidak menutup kemungkinan organisasi setingkat negara dapat bubar atau hancur karena kasus korupsi yang kemudian menimbulkan masalah-masalah baru bagi negara tersebut.
Partisipasi publik diharapkan menjadi sebuah upaya dalam mengurangi kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Penegakan hukum juga menjadi salah satu kewajiban masyarakat, karena pada dasarnya masyarakat tidak hanya menonton bagaimana hukum itu ditegakkan, tetapi juga bagaimana masyarakat berperan aktif dalam menegakkan hukum tersebut. Bahkan pada peraturan pasal 1 UU nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, disebutkan bahwa peran serta masyarakat merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi, yang merupakan organisasi internasional non-pemerintah berskala internasional yang bertugas dalam mengurutkan negara berdasarkan indeks korupsi. Indonesia dalam tiga tahun terakhir, menempati posisi yang menurun. Pada 2021, Indonesia memiliki 38 poin yang menempati posisi 96 dari 180 negara. Namun, pada tahun selanjutnya, Indonesia turun drastis 4 poin menjadi 34 poin. Walaupun tahun berikutnya memiliki poin yang sama dengan tahun sebelumnya, nyatanya peringkat Indonesia menurun dari 110 menjadi 115 negara. Indonesia tetap berada di range 50% terbawah dari seluruh negara yang tercatat.
Berdasarkan data di atas, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dalam upaya pemberantasan korupsi, walaupun calon-calon pemimpin selalu membawa narasi tentang upaya pemberantasan korupsi, tetapi pada nyatanya upaya tersebut tidak membuahkan hasil signifikan, bahkan tidak jarang dari anggota partai asal presiden hingga koalisi presiden yang terpilih, masih sering ditemukannya kasus korupsi. Secara subjektif, hal ini menimbulkan interpretasi bahwa narasi yang dibawakan calon-calon pemimpin hanyalah harapan semata demi tercapainya tujuan.
Dari data IPK, negara-negara Skandinavia atau negara-negara bagian utara Eropa, menempati posisi-posisi teratas dalam indeks tersebut. Bahkan empat negara teratas, yang merupakan negara terbersih dari korupsi berasal dari negara Skandinavia. Menurut website resmi KPK, alasan kenapa negara tersebut terbebas dari korupsi adalah karena sistem pengendalian dari internal maupun eksternal yang sangat baik, dan tidak terlepas dari partisipasi warga negara dalam upaya memberantas korupsi.
Robert Dahl dalam karyanya  "Polyarchy" (1971) menekankan pentingnya plularisme dan partisipasi politik sebagai komponen utama dalam demokrasi. Dia berpendapat untuk mencapai demokrasi yang ideal, diperlukan adanya partisipasi luas dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik. Konsep ini termaktub pada peraturan pasal 1 UU nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,  definisi tentang pemberantasan korupsi pada pasal 1 mencakup "peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Ini menegaskan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mencegah dan memberantas korupsi. Partisipasi dalam hal ini dapat berupa pelaporan tindak pidana korupsi, pengawasan terhadap proses hukum, serta ikut dalam kampanye anti-korupsi.
Pemerintah dan masyarakat harus saling membantu dalam upaya pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya yaitu saling membantu dalam kasus korupsi. Tidak jarang ditemukan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia justru melibatkan warga sipil dalam menghilangkan jejak korupsi. Ketidakharmonisan antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani kasus korupsi terlepas dari perbedaan pandangan yang terjadi, tidak membuat korupsi berkurang, tetapi menambah peluang bagi para koruptor dalam menjalankan aksinya.