Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya[1]. Kekuasaan dalam negara tidak terlepas dari apa yang disebut sistem politik. Berbagai pemikiran yang dicetuskan oleh para ahli terkait negara kemudian diimplementasikan menjadi sebuah pedoman dalam menjalankan sebuah negara. Sistem politik sangat erat kaitannya dengan faktor lingkungan, ekonomi, sosial budaya suatu negara.
Â
Teokrasi merupakan salah satu pemikiran yang dicetuskan para filsuf pada abad pertengahan, baik filsuf islam maupun kristen. Teokrasi merupakan salah satu bentuk sistem pemerintahan atau sistem politik yang berpedoman kepada prinsip-prinsip ketuhanan. Jika dilihat secara sekilas, sistem teokrasi merupakan sistem yang sangat ideal yang dimana nilai-nilai ketuhanan berperan besar dalam menjalankan sebuah negara. Perlu disadari bahwa konsep negara teokrasi menurut para ahli sedikit berbeda dengan negara teokrasi pada saat sekarang. Dewasa ini, negara teokrasi tetap menggunakan kitab suci sebagai dasar negara dan konsep pemimpin yang tidak demokratis. Pembeda pentingnya adalah masa ini penguasa hanya bertindak sebagai penguasa bukan sebagai orang yang melegitimasi dirinya sebagai utusan Tuhan. Negara penganut teokrasi juga menjanjikan ketaatan pemerintah dan warganya sesuai aturan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Segala pemberontakan, oposisi terhadap pemerintah, serta pertanyaan ideologis menjadi hal yang tabu di negara ini. Tetapi apakah realisasinya demikian adanya?.
Â
Pada penerapannya konsep teokrasi tidak seideal apa yang dicetuskan. Karakteristik utama dalam sistem teokrasi adalah kehidupan warga maupun pemerintah harus sesuai dengan ketentuan dogma agama. Hal ini menjadikan spiritualitas lebih diutamakan dibanding fisik maupun material. Lantas bagaimana jika ada masyarakat yang tidak taat dengan agama, kita sepakat bahwa perjalanan manusia menuju Tuhan mempunyai awal dan akhir yang berbeda. Bahkan, bisa kita lihat dengan berkembangnya teknologi semakin terlihat gap antara manusia dan Tuhan. Jika kita memaksakan dogma agama diatas kebutuhan masyarakat, apakah mereka melakukan segala aktifitas untuk melaksanakan perintah Tuhan secara ikhlas atau hanya mengikuti aturan yang berlaku?
Â
Kekuasaan dari negara penganut teokrasi dominan berpusat kepada satu orang ataupun sekelompok kecil orang yang kemudian mengontrol segala aktivitas negara. Hal ini patut dipertanyakan berdasarkan apa penguasa tersebut dipilih. Seperti halnya Arab Saudi, undang-undang dasar menegaskan bahwa raja harus dipilih dari kalangan putra raja pertama, dan keturunan pria mereka yang tunduk kepada persetujuan para pemimpin agama (ulama)[2]. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang bukan termasuk anggota keluarga, apakah mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memimpin tanah airnya sendiri. Potensi-potensi kepemimpinan yang dimiliki masyarakat terkesan tidak berguna jika mereka tidak tergabung ke dalam anggota keluarga serta tidak ada jaminan calon raja selanjutnya berhasil memimpin negaranya tersebut.
Tanda penting dalam negara teokrasi adalah adanya satu agama yang dominan. Dalam praktiknya, negara penganut negara teokrasi membuat aturan sesuai dengan dasar negara agama mereka. Hal ini tentunya pasti memberatkan umat agama lain, walaupun secara hubungan sesama manusia tiap agama menuntun kepada kebaikan bersama tetapi bagaimana dengan aturan yang sangat berciri dengan agama di negara tersebut. Bagaimana jika ada tindak pidana atau larangan di negara tersebut, yang kemudian justru diperbolehkan pada agama lain, tentu hal ini malah memberatkan umat agama lain.
Berbicara demokrasi pada negara teokrasi terkesan sangat tidak mungkin. Konsep penguasa dalam negara teokrasi sudah mencerminkan bagaimana demokrasi tidak ada disini. Warga negara tidak dapat memilih maupun mencalonkan sesama untuk menjadi pemimpin. Suara rakyat yang tidak sesuai dengan norma agama sudah pasti ditolak, bahkan tidak menutup kemungkinan akan mendapat pelanggaran. Seperti halnya pada abad kegelapan di Eropa, Berbagai hal diberlakukan demi kepentingan gereja, tetapi hal-hal yang merugikan gereja akan mendapat balasan yang sangat kejam. Contohnya, inkuisisi terhadap Nicolaus Copernicus (1473-1543) karena teori tata suryanya yang menyebutkan bahwa matahari pusat dari galaxy. Karena dianggap menyebarkan teori Heliosentrisme itu dalam bukunya Dialogo, dia dipanggil ke Roma, sampai akhirnya kemudian dihukum oleh inquisitor (Intelejen Gereja) dengan dicongkel matanya[3].
Â