Revolusi buruh tanpa henti?
Setiap awal bulan Mei kita diramaikan hastag #Mayday di jagat sosial media, sebenarnya Mayday itu apa?
Dalam wikipedia dijelaskan Mayday adalah “sinyal tanda bahaya” standar internasional yang digunakan pada saat berkomunikasi menggunakan radio. Berasal dari kata prancis (m’aidez) yang berarti “tolong aku”.
Artinya bulan Mei tanda bahaya donk?
Nah ini menarik untuk dikaji bagi warga net +62 (Indonesia).
Dalam sejarah revolusi buruh dunia, satu Mei sebagai sebuah momen bagi buruh telah melewati masa yang panjang. Perayaan hari buruh internasional satu Mei berawal dari perjuangan 200.000 buruh di Amerika pada 1886 yang melakukan mogok massal menuntut delapan jam kerja.
Pada 1 Mei 1886, aksi yang mulanya damai ini berubah menjadi panas karena represi aparat. Hingga pada 4 Mei para buruh tidak hanya mogok tapi juga melakukan aksi fisik yang dikenal dengan nama Haymarket Affair dan melakukan bentrok fisik dengan aparat.
1 Mei tiga tahun berikutnya Konferensi Sosialis Internasional memperingati Haymarket affair sebagai hari libur bagi para masyarakat buruh dunia.
Tragedi di Haymarket berdampak luas. Dari aksi tersebut kemudian diselenggarakannya Kongres Sosialis Internasional II di Paris, Juli 1889. Kongres tersebut menetapkan 1 Mei sebagai hari libur para buruh.
Hal itu kemudian tercatat sebagai perayaan hari buruh pertama kali di dunia, dilansir dari laman Industrial Worker of the World. Kini setidaknya lebih dari 66 negara di dunia secara resmi menggunakan 1 Mei sebagai hari buruh internasional.
Sementara sejarah perburuhan di Indonesia sudah ada sejak keputusan tanam paksa atau cultur steelsel (Tedjakusuma, 2008:4), sejak itulah mulai diperkenalkan sistem pengupahan. Dahulu namanya tanam paksa belum ada buruh, yang ada hanya petani yang memberikan upeti kepada raja.
Pada saat itu petani yang bekerja untuk raja tidak dapat menggarap hasil panennya, oleh sebab itu digantikan dengan upah. Dalam tatanan ekonomi apapun baik kapitalisme maupun sosialisme tetapi dalam lingkup negara industri, buruh adalah penopang ekonomi negara tersebut.
Inilah yang menjadi problem masyakarat kala itu, motif gerakan buruh pada tahun 1910-1912 yang merupakan masa paceklik sehingga bahan pokok naik, sementara upah tak kunjung naik, hanya begitu saja.
Itulah mengapa mayday selalu digaungkan di jaga dunia hari ini, kesetaraan pekerjaan juga upah menjadi poin penting untuk kesejahteraan masyakarat dan negara.
Kalau bicara sejarah buruh banyak memang momentum penting yang harus kita catat sebagai pelajaran sejarah, tapi perlu kita ketahui buruh adalah orang tua kita. Selagi kita bukan pemilik modal, bekerja di tempat orang lain kita adalah buruh bagi mereka.
Teringat apa yang di sampaikan oleh bung Pram. “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri."
Kita mesti pahami bahwa otokritik anak muda hari buruh bukanlah eforia semata, tetapi refleksi diri terhadap apa yang telah diperjuangkan para pendahulu kita.
Pun, hari ini para buruh yang masih bekerja untuk anak-anaknya di tengah pandemi, bahkan ada yang sudah di PHK. Belum lagi tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke indonesia baru-baru ini, 500 TKA masuk ke sulawesi dalam kunjungan kerja, sementara ratusan buruh anak negeri sendiri di putus hubungan kerja (PHK), lalu siapa yang bertanggung jawab soal PHK ini.
Negara seolah-olah tidak mau tahu dampak dari pekerja yang telah di PHK akibat pandemi ini.
Belum lagi soal kebijakan pemerintah untuk mengkarantina wilayah, isolasi diri, stay at home, ini menjadi dilematik buat para pekerja untuk melanjutkan pekerjaan untuk makan anak di rumah. Artinya negara telah mencenderai kaum buruh, dzolim terhadap rakyatnya sendiri.
Tentunya harapan kita bersama, negara harus memprioritaskan anak bangsanya untuk melanjutkan pekerjaan sebagai buruh dimanapun tempat mereka bekerja ketimpang menambah tenaga asing yang justru membuat hati rakyat terluka. Perlu adanya rekonstruksi wajah negara dalam mengatasi problem ekonomi kerakyatan pada tubuh bangsa ini.
Bung hatta pernah berkata. "Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat."
Semoga di tengah pendemi ini, buruh mendapatkan tempat yang layak di negeri sendiri.
MAYDAY!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI