Pada tanggal 23 Maret 2021 pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan ELECTRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ELTE) atau yang biasa kita sebut dengan E-Tilang dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan tata cara berlalu lintas yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan juga kebijakan ini dirancang untuk mempermudah pihak kepolisian dalam menertibkan dan memberlakukan sanksi atas pelanggaran dalam berlalu lintas yang terjadi. untuk menjelaskan efektivitas dari kebijakan E-Tilang tersebut maka argumen yang dibentuk didasari oleh bagaimana implementasi kebijakan E-Tilang yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia ?.
Pada tanggal 23 Maret 2021 pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan ELECTRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ELTE) atau yang biasa kita sebut dengan E-Tilang dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan tata cara berlalu lintas yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan juga kebijakan ini dirancang untuk mempermudah pihak kepolisian dalam menertibkan dan memberlakukan sanksi atas pelanggaran dalam berlalu lintas yang terjadi. untuk menjelaskan efektivitas dari kebijakan E-Tilang tersebut maka argumen yang dibentuk didasari oleh bagaimana implementasi kebijakan E-Tilang yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia ?.
Implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai tahap pelaksanaan dari suatu produk kebijakan yang telah dilahirkan oleh pemerintah dengan berbagai proses dan mekanisme untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan menurut Van Meter dan Horn (1974) dalam Purwanto dan Sulistyastuti  (2015: 20) implementasi kebijakan mencakup tindakan yang dilakukan aktor public atau swasta (atau kelompok) yang diarahkan untuk mencapai yang telah ditetapkan lebih dulu dalam keputusan-keputusan tentang kebijakan Objek utama pada tahapan ini adalah bentuk kebijakan yang diterapkan, kepada siapa kebijakan tersebut diberlakukan, dan respon dari penerapan kebjakan tersebut.Â
Dalam Hal ini kebijakan E-Tilang lahir dikarenakan semakin meningkatnya pelanggaran lalu lintas di Indonesia sehingga menyebabkan kecelakaan lalu lintas, selain itu pendisiplinan yang kurang atas pelanggaran lalu lintas juga menjadi alasan lahirnya kebijakan ini seperti maraknya pungutan liar atau dengan istilah yang lebih familiar yaitu "Damai di tempat" sehingga pelanggar tidak harus menempuh mekanisme hukum untuk menindak pelanggaran lalu lintas yang dilakukan.Â
kebijakan E-tilang memiliki dasar hukum UU No. 29-2009 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (PP No. 80-2012),
Lalu kira-kira bagaimana bentuk kebijakan E-Tilang dan apakah bisa menjawab permasalah meningkatnya pelanggaran lalu lintas ?Â
Bentuk dari kebijakan E-Tilang adalah penertiban lalu lintas melalui media elektronik, dimulai dengan pemasangan kamera pemantau lalu lintas di daerah yang memang rawan terjadi pelanggaran lalu lintas dan kamera tersebut membantu fungsi pengawasan yang dilakukan oleh aparat  kepolisian dengan merekam kondisi lalu lintas selama 24 jam dan merekam plat nomor kendaraan bagi yang melakukan pelanggaran lalu lintas, kemudian pihak kepolisan akan menindaklanjuti pelanggar tersebut dengan mencetak bukti pelanggaran serta menyertakan sanksi yang nantinya akan dikirimkan kepada alamat pelanggar ataupun melalui email untuk dimintai pertanggungjawabannya, lalu Selanjutnya pelanggar melakukan proses pembayaran langsung pada bank BRI atau dapat melakukan transfer, m-banking, melalui setor tunai. Dengan ketentuan, jika ada pelanggar yang terlambat dalam konfirmasi setelah 10 hari sejak surat tilang sudah didapatkan, maka Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) pelanggar akan otomatis diblokir.
Target dari diberlakukannya kebijakan ELECTRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ELTE) adalah masyarakat pengguna lalu lintas dan juga untuk membantu aparat kepolisian untuk menertibkan pengguna jalan lalu lintas. Setelah kebijakan ini mulai diterapkan tentunya belum mencapai titik optimal dan kerap menjumpai berbagai tantangan dan respon dari masyarakat seperti dalam hal sarana dan prasarana pemasangan kamera pemantau dengan kualitas yang dibutuhkan tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga beberapa sudut yang memang rawan terjadi pelanggaran lalu lintas masih belum memiliki kamera pemantau dan sering menjadi alternatif pengendara untuk menghindari jalan yang memiliki kamera pemantau untuk terhindar sanksi atas pelanggaran lalu lintas yang dilakukannya , selain itu juga beberapa kamera yang dipasang di lampu lalu lintas berada dalam kondisi mati sehingga bentuk pengawasan melalui media kamera terkesan sia sia karena pelanggaran masih terjadi namun bentuk penindakan atas pelanggaran tersebut tidak ada sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku yang mana tidak selaras dengan tujuan dari diberlakukannya kebijakan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas peraturan berlalu lintas. kemudian kondisi masyarakat yang memang masih minim kesadaran akan peraturan lalu lintas yang berlaku dimanamasyarakat menjadi jauh lebih patuh terhadap peraturan apabila terdapat aparat kepolisian sehingga membuat beberapa titik yang memiliki kamera pemantau masih menjumpai banyak sekali bentuk pelanggaran.Â
Diberlakukannya E-Tilang sempat memberikan dampak positif dimana 3 bulan setelah diberlakukannya kebijakan tersebut, persentase pelanggaran dalam berlalu lintas turun hinga 47 persen, namun setelah keberlangsungannya selama 7 bulan E-tilang menciptakan dimensi masalah baru dimana beberapa masyarakat pengguna jalan sengaja tidak memakai plat nomor bahkan menggunakan plat nomor palsu yang membuat ketika orang tersebut melakukan pelanggaran dalam berlalu lintas, pihak kepolisian kesulitan dalam menjalankan mekanisme pemberian sanksi.
Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa memang betul ELECTRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ELTE) bisa menjadi solusi untuk mengurangi persentase terjadinya pelanggaran lalu lintas namun selayaknya suatu kebijakan, membutuhkan waktu untuk mencapai titik optimalnya maka dari itu diperlukan pembenahan atas tantangan yang muncul atas kebijakan tersebut perlu diberlakukannya kerjasama antara berbagai pihak.Â
menurut saya untuk sekarang ini perlu adanya keseimbangan antara tilang manual dengan tilang elektronik dikarenakan kebijakan ini merupakan suatu kebijakan baru maka tidak cukup jika bentuknya hanya himbauan saja kepada masyarakat tapi perlu ada bentuk tegas dalam memberlakukan mekanisme kebijakan tilang elektronik terssebut dan mencari solusi alternatif atas munculnya dimensi masalah baru sehingga kebijakan ini bisa menemui titik optimalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H