Mohon tunggu...
Raihan Arkan
Raihan Arkan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa aktif PBSI S1 Universitas Ahmad Dahlan

menulis cerpen dan puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rantai Makanan

7 Agustus 2024   23:51 Diperbarui: 7 Agustus 2024   23:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sudah kau hubungi nomornya?"

"Sudah. 3 kali kuhubungi Tak ada jawaban."

"Bagaimana dengan alamatnya?"

"Aku sudah kesana. Hanya Rumah terbengkalai. Orang gila dan gelandangan saja yang kesana."

Fredrick memperbaiki posisi duduknya. Mengisap rokoknya dalam-dalam kali ini dia memasang muka serius. "Kau sudah pastikan kalau kertas itu petunjuk untuk bertemu kembali dengan Morgan?"

Kalista mengeluarkan 2 carik kertas usang bercorak darah kering. Kertas yang berisi alamat dan nomor telepon. Satunya lagi kertas surat. Surat itu surat terakhir yang ditulis Morgan. 

Entah kapan aku akan menghilang. Tekanan para tengkulak curang begitu brutal hari-hari ini. Tidak ada tempat yang aman untuk kebenaran.

Kalista menghela nafas sejenak untuk menenangkan diri. "Entahlah, setidaknya itu yang kuamini."

Malam itu bulan menampakan badannya setangah dari kesempurnaan. Menerangi pinggiran kota San Marimo. Suasana kota sepi. Hanya desir ombak dan gesrekan dedaunan yang terdengar. Di sebuah gang kecil, terdengar keributan dan suara pukulan mengalun mengiringi desir angin.

"Sudahi permainanmu! Jangan kau coba-coba menentang Charter. Sekali lagi kau mencoba berulah, kau tak akan tenang walau kematian menjemputmu."

Tak lama kemudian. Dua tukang pukul itu pergi meninggalkan Morgan terkapar. Charter Itulah nama tengkulak terbesar di San Marimo. Tengkulak yang bengis dan licik. Tidak ada kata untung jika melakukan niaga dengannya.

Morgan mencoba berdiri dan melawan rasa nyeri di sekujur tubuh. Dua tukang pukul itu benar-benar menghabisi Morgan dengan haus darah yang tumpah-tumpah. Morgan mengeram kesakitan. mukanya bersimbah darah. badannya penuh lebam. saat Morgan sudah berdiri , dia berjalan sempoyongan. Jiwanya seakan telah hengkang dari raganya. sudah tidak ada tenaga. Dari mulut gang untunglah terlihat seorang mendekati Morgan.

"Ya tuhan. Tragis sekali penampilanmu." ucap Kalista sembari mencoba menatih Morgan.

"Arrrgghh, bawa aku kepada Fredrick."

"Diam saja dirimu. Kau harus diobati dulu."

.....

Selepas kejadian malam itu. Fredrick menemui Morgan di kediamannya.

"Bagaimana keadaan kakakmu?" Tanya Fredrcik kepada Kalista.

"Lebih baik daripada malam tadi. Dia sedang di kamar. Menulis pikiran dan inovasinya."

Fredrick mengisap rokok dalam-dalam dan membuang puntung yang hampir habis. "Tidak habis pikir diriku dengan kakak tololmu itu." Fredrick meninggalkan Kalista di mulut pintu dan masuk ke kamar Morgan.

"Sudahlah Mor. Kita tidak bisa menentang Kail Merah terus-terusan. Sudah berapa kali kau dihadang oleh tukang pukulnya? Cukup ini yang yang terakhir dan yang terburuk." Fredrick duduk di kursi pojok kamar dan bertanya kepada Morgan.

"Menegakan kebenaran harus ada pengorbanan. Aku tetap akan menentang dan memprovokasi para nelayan agar menentang Charter si Kail Merah. Apa kau tidak Lelah hidup begini terus-terusan?" jawab Morgan sembari menulis propaganda yang akan disebar di penjuru kota.

"Kau tahu kan? Pemerintah pun tak bertindak apa-apa. Charter telah membungkamnya. Tidak ada upaya yang bisa kita lakukan. Kita hanya rakyat kecil. Ingat itu."

"Kau terlalu pesimis Fredrick. Selagi ada kesempatan walaupun sekian persen. Kita masih bisa berhasil atas propaganda ini."

"Kalista. Bantu aku untuk memadamkan api dalam hati kakakmu. Apa kau tak kasihan melihat dia babak belur disetiap malamnya?" Fredrcik mencoba membujuk Kalista yang datang dengan membawa dua cangkir kopi panas untuk kakak dan temannya.

"Segala hal sudah kuupayakan Fredrick. Tak ada pengaruh baginya. Biarkan dia melakukan apa yang dia suka. Selagi aku masih sanggup menatihnya dan mengompres lukanya. Kuikuti apa maunya." Jawab Kalista dengan nada datar.

"Bagaimana jika dia mati? dia hilang? tubuh siapa yang kaubasuh? tubuh yang penuh lebam mana yang kau kompres nantinya?"

"Tenang saja Fred, aku bertanggung jawab atas kehendakku." Ucap Morgan meyakinkan sahabatnya bahwa perbuatannya ridak beresiko tinggi.

Seminggu berlalu dan Morgan telah kembali dalam kesehariannya. Menjala ikan dan mempengaruhi para nelayan agar menentang Charter. Hari itu, propaganda yang dibuat Morgan benar-benar mencapai puncaknya. Para nelayan berbondong-bondong menuju tempat tengkulak licik itu dan memprotes harga yang ditawarkan agar dinaikkan. Namun tak lama kemudian para nelayan menjauh karena takut. Pasalnya ada nelayan yang ditembak karena menjadi provokator saat mereka memprotes. Suasana kota menjadi tegang. Tidak ada yang berani menentang Charter kembali.

Esok harinya. Saat Kalista berbelanja kebutuhan hidupnya dan kakaknya, Entah apa yang dipikirkan Kalista. Hari itu dia merasa alam tak mendukungnya. Kecemasan timbul di hatinya. Sosok yang ceria berubah sosok muram bertopengkan kecemasan. Segeralah Dia pulang karena tak cukup tenang. Dalam khayalnya, rumah seakan dihantui oleh malaikat maut. Sesampainya dia di rumah. Anyir bau darah tercium sampai pelataran rumah. Kalista menjadi lebih pucat dua kali lipat. Ketika ia memasuki rumah betapa terkejutnya Kalista melihat badan tanpa kepala. Duduk di meja tulis Morgan. Jangkar perahu tertancap dilehernya.

Ada 2 kembar kertas di atas meja Morgan. Dengan harapan yang dibawa. Kalista menghubungi Fredrick. Selagi menunggu kedatangan sahabat karib kakaknya, pihak rumah sakit dihubunginya untuk memindahkan jasad entah milik siapa. Jasad yang ditemukan telah diambil oleh Rumah Sakit untuk diautopsi. Fredrick datang sebelum petugas Rumah Sakit. Dia sudah memastikan apakah itu Morgan atau bukan. Dengan keyakinannya Fredrick mengatakan mayat itu Morgan. Namun Kalista buru-buru menyangkalnya. "Morgan tak punya tato jangkar di lengannya. Aku kenal betul kakakku."

"Jadi kau beranggapan ini kematian palsu? Siapa yang berpikir untuk memalsukan kematian orang dengan tragis seperti ini." Fredick berusaha menjernihkan pikiran dari segala khayalan yang ada.

"Kau berpikir bahwa Morgan Sendiri yang melakukan ini? Mana mungkin." Fredrick terus menyangkal Kalista.

Dengan nada gemetar Kalista berkata. "Mungkin. Mungkin saja. Agar dia tak dihantui oleh tukang pukul si Charter. Atau. Atau dia ingin menyembunyikan diri dan bermain di balik layar. Fredrick tolong katakan bahwa aku benar." Air mata menetes menghujani pipi Kalista.

Di tengah-tengah keheningan. Telepon rumah berbunyi memecah gelas keheningan. Kalista menyeka air matanya dan beranjak dari kursi menuju sumber suara. Terdengar suara dengan nada merendahkan keluar dari telepon genggam itu.

"Bagaimana? Sudahkah kalian puas berkhayal menghidupkan seseorang?" Suara itu memberikan setumpuk emosi dalam hati Kalista.

"CHARTER! KATAKAN DIMANA KAU SANDRA KAKAKKU!!"

"HAHAHAHAHAHA. Menyandra? Siapa? Morgan sang pahlawan itu? Apa kau tak lihat mayat tanpa kepala di meja tulisnya?" Jawab Charter dengan mengejek.

"Dia bukan kakakku. Kau salah membunuh orang. Pasti kau menyandra kakakku di salah satu gudangmu."

"Dengarkan baik-baik Kalista. Dan juga kau Fredrick." Suara Cahrter berubah menjadi mengintimidasi. "Kalian hanyalah mangsa bagi kami. Kau hanyalah ikan kecil untuk menggemukan ikan yang lebih besar. Aku adalah puncak rantai makanan. Tenggelamlah bersama jangkar itu dalam palung keputusasaan. Ikan Herring tidak akan bisa memangsa Hiu. camkan itu dalam jasad tanpa kepala itu."

Telepon terputus. Tangis Kalista pecah bersamaan telepon itu mati. Fredrick berdiri dan mendekap Kalista.

"Kita akan temukan Morgan. Mayat tadi adalah mayat nelayan yang mati saat aksi protes kemarin. Ada bekas tembakan di dadanya."

Kalista berkata kepada Fredrick dengan tersedu-sedu. "Kau harus janji kepadaku Fredrcik. Kau harus janji. Janjilah untuk membebaskan Kakakku."

Fredrick mengiyakan pinta Kalista.

Esoknya. Fredrick berjalan di tepian pantai. Melihat ada nelayan berkerumun, Fredrick penasaran dan menuju kesana. Mengingat suasana kota sedang tidak baik-baik saja. Fredrick ingin memastikan apa yang sedang dikerumuni Nelayan. Apakah ikan Marlin raksasa yang tertangkap atau malah hal yang mengejutkan lainnya. Setelah berusaha melewati kerumunan. Fredrick berada tepat di depan objek itu. Tak kuasa air mata ia tahan. Fredrick tertunduk lesu dan merasa bersalah. Dia tidak bisa menepati janjinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun