Mohon tunggu...
Raihan AlFarhan
Raihan AlFarhan Mohon Tunggu... Wiraswasta - MAHASISWA

168 cm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Radio Kemerdekaan

22 Juli 2020   18:51 Diperbarui: 22 Juli 2020   18:49 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ingin bicara mengenai Aceh, saya jadi teringat pada satu monumen indah dan juga bersejarah saya kunjungi pada waktu SMA. Mungkin sudah lama sekali, tapi saya masih ingat bagaimana bersemangatnya guru sejarah kami saat menceritakan begitu pentingnya Radio Rimba Raya dalam menyelamatkan bangsa Indonesia yang hampir saja jatuh ke tangan belanda untuk yang kedua kali.

Pada saat Yogyakarta dikepung dan resmi jatuh ke tangan belanda pada 19 Desember 1948, radio darurat Yogyakarta otomatis diambil alih pemerintahan mereka. Sehingga, pesan-pesan perjuangan dalam mempertahan NKRI, tidak bisa disampaikan ke setiap pelosok daerah.

Hari itu, guru kami dengan bangga menyatakan bahwa Radio Rimba Raya yang terletak di Kabupaten Bener Meriah tepatnya di Jl. Buntul Nangka, Paya Gajah, Bukit, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, adalah satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta tak bisa digunakan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Setelah sempat menjadi bagian dari sejarah dalam mempertahankan agresi belanda, kini tugu itu dijadikan sebagai monumen nasional sekaligus tempat wisata edukatif bagi para pengunjung yang ingin mengetahui sejarah penting dari Radio Rimba Raya.

Sungguh, saya merasa begitu takjub, bahkan sampai saat ini. Tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi bila saat itu Indonesia tak memiliki radio darurat selain yogyakarta. Sungguh, agresi militer dua belanda pasti akan tetap berhasil, dan Indonesia masih harus merasakan kepahitan atas perasaan terjajah oleh negara kincir angin tersebut.

Radio Rimba Raya adalah Radio Republik Indonesia Darurat yang disiarkan dari Dataran tinggi Gayo, atau tepatnya di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime, yang sekarang menjadi wilayah bagian Kabupaten Bener Meriah, oleh Tentara Republik Indonesia Divisi X/Aceh pimpinan Kolonel Husin Yusuf.

Saya pernah mendengarkan sekilas tentang radio rimba raya dari guru SMA saya, dan disini saya akan berbagi sedikit cerita yang saya dengar dari beberapa orang tertua di daerah radio tersebut. Radio Rimba Raya sebenarnya telah dipersiapkan jauh hari, bahkan sebelum Belanda melancarkan agresi militer I. Pada 2 Juli 1947. 

Seperti namanya radio rimba raya adalah sebuah radio yang ditempatkan dalam hutan lebat, rimba raya dalam bahasa aceh jika diterjemahkan adalah hutan lebat. 

Kita semua tahu bahwa satu-satunya wilayah nusantara yang tak dikuasai oleh belanda adalah Aceh, dan kita juga tahu bahwa aceh dengan Malaysia ia satu suku atau nenek moyang yang dibuktikan ketika kerajaan iskandar muda Berjaya, wilayah kekuasaannya sampai ke johor, dan pada masa itu terjadilah pernikahan dalam satu kekuasaan iskandar muda jauh sebelum agresi militer I terjadi. 

Sehingga rakyat aceh  menukarkan beberapa rempah-rempah untuk mendapatkan radio dari negeri seberang. Dengan  lokasi wilayah yang dekat antara aceh dan Malaysia memudahkan masyarakat aceh untuk cepat sampai ke negeri tersebut.

Taktik untuk menyeledupkan radio tersebut cukup menggeleng geleng kepala, bagaimana tidak?.  Beberapa orang terpercaya yang dipilih untuk menyeledupkan radio membagi dua kelompok. 

Yang satu perahu membawa radio yang diseledupkan dengan mengeyuh dengan kecepatan santai dan yang perahu lainnya mengayuh dengan kecepatan yang tinggi, hal itu dilakukan agar militer belanda yang berpatroli di selat malaka mengira kalau perahu yang dikayuh dengan kecepatan tinggi itu mencurigakan dan pasti akan dikejar. 

Ternyata taktik tersebut sangat tepat, militer belanda yang sedang patrol mengejar perahu yang kayuhannya begitu cepat lalu menembak semuanya hingga menewaskan seluruh orang yang berada di perahu tersebut sedangkan yang kayuhannya santai itu dibebaskan. Permainan itu gunanya untuk membuat focus militer belanda terbagi dan mereka ternayata hilang kendali.

Sesampai mendarat di aceh tepat nya di kuala simpang radio tersebut dibawa ke bireun yang juga sempat menjadi ibu kota indonesia setelah yogyakarta dan bukittinggi walaupun tidak tercatat dalam buku sejarah. 

Di bireun radio tersebut di pertimbangkan agar bisa disiarkan dengan cepat dan luas, maka dibawa lah ke kota banda aceh dan dirakit di sana namun radio tersebut tidak sempat mengudara karena situasi yang tidak mendukung, maka dengan kesepakatan bersama radio di bawa ke bener meriah, gayo lues.

Sesampai disana diutuskan lah beberapa orang untuk mengabarkan kepada Negara luar dengan suara yang lantang. "INDONESIA MASIH ADA..INDONESIA MASIH ADA" begitulah kata-kata yang keluar dari mulut guru saya dan masyarakat sekitar tugu radio tersebut. Hal itu membuahkan hasil, tak menunggu beberapa lama mesir langsung menyatakan Indonesia merdeka secara defacto.

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

sebenarnya cerita ini masih sangat panjang, namun saya hanya dapat menceritakan sedikit  tentang radio ini karena ilmu yang masih sangat minim. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun