Mohon tunggu...
Raihan Akbar Hidayat
Raihan Akbar Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Anggota Komunitas Peradilan Semu UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Carut-marut Pelaksanaan PSBB

16 April 2020   21:11 Diperbarui: 16 April 2020   21:16 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : immsleman.com

Dengan dikeluarkannya PP No. 21/2020 dan Keppres No. 11/2020, mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan dilandasi UU No. 6/2020 tentang Karantina Kesehatan, yang meliputi :

  • Peliburan sekolah dan tempat kerja;
  • Pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
  • Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum

Sekalipun pembatasan kegiatan sudah dilakukan oleh banyak instansi, namun akibat dari kebijakan peliburan dan pembatasan kegiatan tersebut justru berdampak kepada masyarakat yang berpergian kesana-kemari yang disebabkan karena faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang belum ditanggung. Alhasil peningkatan penyebaran covid-19 tetap signifikan

PSBB Terlalu Birokratis

Menelisik terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar, bahwa tata cara menerapkan PSBB yang harus dipenuhi kepala daerah terlalu birokratis. Karena harus meminta izin kepada Kemenkes dengan segala persyaratannya. Menurut pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, "Tata cara menerapkan PSBB itu terlalu birokratis. Jadi penetapan psbb harus izin dulu ke Kemenkes, nanti Kemenkes akan mereview akan diijinkan atau tidak. Aneh sekali menurut saya, bagaimana mungkin memerangi covid-19 dengan cara yang sangat birokratis," katanya dalam akun youtube pribadinya pada Kamis (09/04/20).

Ia juga menyebutkan bahwa seharusnya kepala daerah diberikan kewenangan untuk menerapkan PSBB. Akan tetapi, dalam waktu dekat harus melapor ke pemerintah pusat melalui Kemenkes sembari memberikan data dan fakta di daerahnya. Padahal memerangi wabah ini sama saja bergelut dengan waktu, jika terlambat sedikit bukan tidak mungkin keadaan akan semakin memburuk.

Sejauh ini, wilayah yang telah menerapkan PSBB adalah DKI Jakarta yang menjadi daerah epicentrum covid-19. Namun, DKI Jakarta untuk merealisasikan PSBB ini memerlukan waktu selama 1 pekan untuk mendaptkan izin dari Kemenkes, padahal suspect pandemi covid-19 di DKI Jakarta, sudah menyentuh angka 2.000 orang lebih. Keadaan seperti inilah yang membuktikan bahwa penerapan PSBB terlalu birokratis dan berbelit-belit.

Pelaksanaan PSBB DKI Jakarta

Melihat keadaan setelah 4 hari berlangsungnya PSBB di DKI Jakarta, masih belum ampuh untuk mengurangi mobilitas warga. Keadaan yang terjadi justru sebaliknya, dengan adanya kepadatan antrean yang mengular panjang di beberapa stasiun KRL, seperti di Stasiun Bogor dan Depok. Hal ini, menunjukkan bahwa aturan jaga jarak aman sekitar 1- 2 meter untuk menunjang aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan memutus rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19 belum dapat 100 persen diterapkan. 

Setelah ditelusuri akar dari permasalahan yang terjadi adalah masyarakat di DKI Jakarta ternyata masih banyak yang bekerja karena pabrik-pabrik dan perusahaan yang belum meliburkan pekerjanya ditambah lagi belum adanya pembatasan jam operasional terhadap angkutan umum khususnya KRL dan untuk persoalan inipun Pemprov, tidak memberikan sanksi kepada pengelola atau pemilik perusahaan yang belum meliburkan para pekerjanya. Hal ini, menunjukkan ketidaktegasan dalam pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta.

Menurut Anggota Tim Pengkajian dan Penelitian Covid-19 Komnas HAM Brian Azeri mengungkapkan, ada sebuah catatan terkait pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta. Yaitu ketidak selarasan kebijakan antara Pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, terkait transportasi roda dua berbasis aplikasi atau ojek online. 

Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020, ojek online dilarang membawa penumpang dan hanya dibolehkan membawa barang. Kebijakan ini selaras dengan Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020. "Namun, Pasal 11 ayat (1) huruf d Permenhub 18/2020 membolehkan sepeda motor dapat mengangkut penumpang untuk tujuan kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi dengan beberapa protokol seperti pelaksanaan disinfeksi, penggunaan masker, sarung tangan, dan pengemudi tidak sakit," ucap Brian dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (14/4/2020). 

Dengan adanya dualisme kebijakan ini, membuat pelaksanaan tidak efektif. aparat dan masyarakat dibuat bingung dengan penegakan aturan ini. kemudian, masalah yang muncul selanjutnya adalah banyak masyakarat yang bekerja pada sektor informal menjerit karena perekonomian mereka sedang lesu dan tidak adanya perhatian dari pemerintah terkait pemenuhan kebutuhan pokok kepada mereka.

Pulang Kampung Dilarang, Tak Pulang Bisa Mati Kelaparan

Mungkin kalimat diatas lah yang paling sesuai saat ini untuk menggambarkan para pekerja informal yang harus tetap bekerja ditengah-tengah pandemi dan Kebijakan PSBB ini. Bagaimana tidak, mereka saat ini sedang dalam fase kebingungan dan keterpurukan. Ditengah-tengah pandemi seperti ini, mereka harus dihadapkan dengan dua pilihan. 

Pertama, mereka harus tetap bekerja atau berjualan meski risikonya bisa terpapar covid-19 dan jika tidak menaati peraturan akan disidak oleh aparat. kedua, mereka tetap bertahan di rumah dan tak mendapat penghasilan serta tidak adanya pemenuhan kebutuhan pokok dari pemerintah. Keadaan sulit inilah yang membuat mereka berusaha mencari alternatif dengan pulang ke kampung halamannya.

Namun, alternatif tersebut langsung direspon oleh pemerintah. Pada rapat terbatas tingkat menteri, Kamis (2/4), terkait terkait antisipasi mudik Lebaran di tengah pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo memberikan opsi penting terkait antisipasi mudik lebaran. Jokowi, meminta pengawasan warga pendatang di daerah untuk diperketat. Warga dari zona merah penyebaran Covid-19 tidak dilarang untuk mudik, tetapi konsekuensinya mereka harus berstatus orang dalam pemantauan (ODP) begitu tiba di kampung halaman. 

Hal itu juga ditegaskan oleh Jubir Presiden Fadjroel Rachman dalam pernyataannya kepada awak media melalui media twitter, “Soal kebijakan istana terhadap mudik Lebaran, tak ada larangan resmi dari Presiden Jokowi terhadap pemudik Lebaran Idul Fitri 2020 M/1441 H. Namun, pemudik wajib isolasi mandiri selama 14 hari dan berstatus ODP sesuai protokol kesehatan WHO yang diawasi oleh pemerintah daerah masing-masing.” Tuturnya dalam rilis media melalui akun twitternya @fadjroeL pada, Kamis (2/4/20).

Namun, Pernyataan Fadroel itu kemudian diralat oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Mensesneg menegaskan, pemerintah sangat meminta masyarakat agar tak perlu kembali ke kampung halaman hingga pandemi ini mereda. “Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik," kata Pratikno kepada wartawan, Kamis (2/4). Lagi-lagi adanya dualisme kebijakan yang membuat publik menjadi semakin bingung. Keadaan seperti inilah yang menggambarkan bahwa pemerintah ragu-ragu dalam mengambil kebijakan dan tidak memberikan solusi atas masalah-masalah yang terjadi. 

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersinergi untuk mengatasi permasalahan yang muncul di masyarakat khususnya mereka yang bekerja pada sektor informal dengan pencukupan kebutuhan pokok mereka agar nantinya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bisa berjalan dengan lancar ditambah lagi pemerintah baik pusat atau daerah harus lebih tegas dan menghindari dualisme kebijakan yang mengakibatkan masyarakat ataupun aparat kebingungan dalam menegakkan aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun