Mohon tunggu...
raihan abdullah
raihan abdullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Airlangga

Mahasiswa S1 Antropologi di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelisik hantu antroposentrisme dalam kasus hutan adat suku awyu

4 Januari 2025   23:45 Diperbarui: 4 Januari 2025   23:06 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengketa antara Suku Awyu di Papua Selatan dan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) mengenai pembukaan lahan sawit seluas 36.094 hektar memperlihatkan benturan keras antara hak-hak masyarakat adat atas lingkungan hidupnya dan kepentingan ekonomi korporasi. Ketika Mahkamah Agung menolak kasasi masyarakat adat Awyu melalui Putusan Nomor 458 K/TUN/LH/2024, legitimasi hukum di balik keputusan tersebut memunculkan persoalan mendalam dalam pelestarian lingkungan. Karena bagaimana mungkin putusan yang berkaitan dengan kehidupan khalayak warga negara justru diambil secara buta tanpa pertimbangan terhadap hak hidup manusia dan alam?

Antroposentrisme dalam Kebijakan Lingkungan 

Antroposentrisme adalah pendekatan yang melihat manusia sebagai pusat dari semua kebijakan dan keputusan. Dalam hukum lingkungan, pendekatan ini sering kali terwujud dalam kebijakan yang mengejar pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem. Perspektif antroposentris yang mengakar dalam sistem hukum Indonesia lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, menjadikan lingkungan sebagai sumber daya yang sah dieksploitasi untuk manusiaAkibatnya, nilai dan hak masyarakat adat, yang mengelola dan melindungi hutan selama berabad-abad, diabaikan begitu saja. Alam yang memiliki nilai intrinsik dan esensi budaya bagi masyarakat adat direndahkan menjadi sekadar komoditas, dan dalam konteks ini, hukum tidak lagi menjadi pelindung melainkan fasilitator bagi eksploitasi.

Analisis Putusan Mahkamah Agung: Sebuah Kritik terhadap Pendekatan Prosedural yang Kaku

Pada kasus ini, dasar penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah keterlambatan pengajuan gugatan yang dianggap melewati tenggat waktu 90 hari kerja. Alasan tersebut adalah bentuk penerapan keadilan prosedural yang kaku, tanpa memperhatikan esensi keadilan substantif yang lebih luas. Penolakan ini mengabaikan konteks bahwa proses administratif di tingkat pemerintah daerah berjalan lamban dan tidak merespons upaya Suku Awyu untuk mencari keadilan, meskipun Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah mengatur kewajiban pemerintah untuk menanggapi pengajuan keberatan masyarakat

Lebih dari itu, keputusan Mahkamah Agung juga mengabaikan salah satu dissenting opinion dari hakim yang menilai bahwa AMDAL untuk proyek ini tidak cukup memadai karena belum mencakup dampak sosial dan ekologis terhadap wilayah adat Suku Awyu AMDAL seharusnya berfungsi sebagai instrumen pengawasan lingkungan yang melibatkan semua pihak terdampak, termasuk masyarakat adat, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini menunjukkan ketidakselarasan antara implementasi hukum lingkungan dengan substansi keadilan yang dicita-citakan oleh undang-undang.

Peran Ekosentrisme dalam Mendorong Keadilan Lingkungan yang Substantif

Ekosentrisme, yang berfokus pada nilai intrinsik semua elemen dalam ekosistem, memberikan landasan filosofis yang lebih luas dan adil dalam menghadapi kasus-kasus lingkungan. Jika ekosentrisme diterapkan dalam kerangka hukum, maka sistem hukum akan memperlakukan alam sebagai entitas dengan nilai intrinsik yang harus dihormati, bukan hanya diperlakukan sebagai alat untuk kepentingan ekonomi manusia. Dalam pendekatan ini, hutan tidak dilihat hanya dari perspektif keuntungan yang dapat dihasilkan, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan kehidupan masyarakat adat, yang memiliki hak untuk melestarikan lingkungan mereka.

Ketika hukum di Indonesia tetap bertumpu pada paradigma antroposentris, nilai-nilai penting yang dipegang masyarakat adat terpinggirkan. Bagi Suku Awyu, hutan adalah rumah spiritual, pusat sumber daya, dan warisan budaya yang terjaga selama berabad-abad. Kehadiran sawit sebagai tanaman yang merusak ekosistem hutan dan mengancam habitat alam adalah bentuk ancaman bagi kesinambungan kehidupan mereka. Hukum yang hanya melihat aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan keutuhan lingkungan dan nilai-nilai budaya justru menciptakan ketimpangan yang merugikan.

Kritik Legal terhadap Putusan Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini mengabaikan bahwa peraturan nasional seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menuntut keterlibatan masyarakat terdampak dalam keputusan izin lingkungan. Pada kasus ini, Suku Awyu justru dilemahkan dengan pengabaian hak mereka untuk terlibat dalam proses musyawarah sebagaimana tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Padahal, musyawarah dengan masyarakat adat adalah kewajiban konstitusional dalam melindungi hak-hak mereka sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Lebih lanjut, Perma tentang Penanganan Sengketa Tata Usaha Negara terkait Penggunaan Lahan juga menetapkan bahwa dalam sengketa lingkungan, pengadilan harus mempertimbangkan aspek ekologis dan sosial yang lebih luas. Dalam kasus Suku Awyu, jika Mahkamah Agung mempertimbangkan aspek keadilan substantif, mereka akan melihat bahwa lahan adat memiliki nilai ekologis, sosial, dan budaya yang lebih tinggi dibanding sekadar nilai ekonomis yang diperoleh melalui konsesi sawit.

Mendorong Pembaruan Hukum Lingkungan yang Inklusif dan Ekosentris

Peristiwa ini semestinya menjadi titik refleksi untuk mendorong pembaruan hukum yang lebih mengutamakan keadilan substantif. Pendekatan ekosentris perlu diintegrasikan ke dalam kerangka hukum kita sehingga alam dan manusia dapat diperlakukan sebagai satu kesatuan. Dengan mengadopsi pendekatan ekosentris, hukum tidak hanya akan lebih inklusif terhadap hak-hak masyarakat adat, tetapi juga akan melindungi hak-hak lingkungan yang selama ini terabaikan. Hukum yang inklusif semacam ini tidak hanya memandang lingkungan sebagai alat ekonomi, tetapi mengakui hak alam untuk ada dan berkembang sesuai siklusnya, tanpa gangguan eksploitasi manusia.

Pengadilan dan pembuat kebijakan harus mengubah pandangan mereka terhadap isu-isu lingkungan dan mengakui bahwa alam memiliki haknya sendiri yang harus dihormati. Pendekatan ini akan membangun sistem hukum yang tidak hanya melihat manusia sebagai penguasa, tetapi sebagai bagian dari ekosistem. Dalam situasi krisis iklim saat ini, mempertahankan pendekatan hukum yang tidak berpihak pada lingkungan hanya akan mempercepat degradasi ekosistem yang pada akhirnya merugikan kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun