Lebih lanjut, Perma tentang Penanganan Sengketa Tata Usaha Negara terkait Penggunaan Lahan juga menetapkan bahwa dalam sengketa lingkungan, pengadilan harus mempertimbangkan aspek ekologis dan sosial yang lebih luas. Dalam kasus Suku Awyu, jika Mahkamah Agung mempertimbangkan aspek keadilan substantif, mereka akan melihat bahwa lahan adat memiliki nilai ekologis, sosial, dan budaya yang lebih tinggi dibanding sekadar nilai ekonomis yang diperoleh melalui konsesi sawit.
Mendorong Pembaruan Hukum Lingkungan yang Inklusif dan Ekosentris
Peristiwa ini semestinya menjadi titik refleksi untuk mendorong pembaruan hukum yang lebih mengutamakan keadilan substantif. Pendekatan ekosentris perlu diintegrasikan ke dalam kerangka hukum kita sehingga alam dan manusia dapat diperlakukan sebagai satu kesatuan. Dengan mengadopsi pendekatan ekosentris, hukum tidak hanya akan lebih inklusif terhadap hak-hak masyarakat adat, tetapi juga akan melindungi hak-hak lingkungan yang selama ini terabaikan. Hukum yang inklusif semacam ini tidak hanya memandang lingkungan sebagai alat ekonomi, tetapi mengakui hak alam untuk ada dan berkembang sesuai siklusnya, tanpa gangguan eksploitasi manusia.
Pengadilan dan pembuat kebijakan harus mengubah pandangan mereka terhadap isu-isu lingkungan dan mengakui bahwa alam memiliki haknya sendiri yang harus dihormati. Pendekatan ini akan membangun sistem hukum yang tidak hanya melihat manusia sebagai penguasa, tetapi sebagai bagian dari ekosistem. Dalam situasi krisis iklim saat ini, mempertahankan pendekatan hukum yang tidak berpihak pada lingkungan hanya akan mempercepat degradasi ekosistem yang pada akhirnya merugikan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H