Suatu malam, terdengar suara senjata api dan disusul dengan suara ribut-ribut di jalanan kampung. Sedang terjadi pemberontakan PETA. Ayah berbicara dengan seseorang katanya harus mengungsi. Namun, ayah memerintahkan keluarganya untuk melindungi diri di rumah saja. Berhari-hari keluarga Dini tidak keluar dari rumah. Sesekali mereka mengobrol, bermain catur dan kartu serta diizinkan untuk menyalakan lilin jika ingin membaca atau menulis untuk menghilangkan kebosanan. Setelah lima hari, pemberontakan telah dapat dipadamkan.
Ketika Dini ingin berangkat sekolah, ia melihat pemandangan yang tidak akan Ia lupakan seumur hidupnya. Terdapat tumpukan bangkai manusia, basah, sudah berbau busuk. Malam harinya Dini tidak bisa tidur, dia terus mengingat apa yang dia lihat yaitu mayat-mayat yang  tertumpuk. Dini masih tidak bisa menemui jawaban dari pertanyaannya, mengapa mereka saling membunuh?
 Novel ini menggambarkan bagaimana arti keluarga yang sebenarnnya. Saling menyayangi, melindungi. Terdapat juga unsur budaya dalam novel ini, seperti pada saat Dini dan keluarga senang sekali menonton pertunjukan wayang.
Tata kalimat dan bahasa yang dipakai dalam novel "Padang Ilalang di Belakang Rumah" mudah dipahami sehingga membuat hanyut dalam suasana dan bisa dibaca oleh siapa saja. Watak para tokoh dalam novel ini digambarkan secara jelas penulis menulis cerita dengan cukup detail. Penulis berhasil membuat pembaca bisa membayangkan dan berimajinasi bagaimana peristiwa-peristiwa yang menegangkan di zaman penjajahan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini dibuat sangat menarik untuk dibaca karena terdapat juga banyak pelajaran dan wawasan yang dapat diambil.