Tentu kalian semua tidak asing dengan tempat yang satu ini, terutama kalian yang tinggal dan berdomisili di kota Yogyakarta, kota yang penuh kenangan dan juga merindukan. Jalan malioboro atau yang biasa dikenal dengan malioboro ini terbentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta.
Daerah malioboro merupakan daerah yang cukup populer sebagai salah satu objek wisata di Yogyakarta, pengunjung yang berkunjung ke Malioboro tidak hanya domestik tetapi juga non domestik.
Malioboro juga  biasanya ramai akan pengunjung, namun setelah merebaknya COVID-19 yang terjadi pada bulan Maret 2020, Malioboro mulai menjadi tempat yang sepi hingga tak ada pengunjung, bahkan banyak pedagang yang libur karena takut terpapar oleh COVID-19.
Semenjak datangnya COVID-19 yang menyebabkan diberlakukanya kebijakan lockdown secara masal, para pedagang yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan di pinggir jalan malioboro semakin kesulitan dalam mencari rezeki.
Ibu Jumirah (53) misalnya, seorang ibu dengan dua orang anak yang menghidupi keluarganya seorang diri dengan berjualan baju baju di daerah Malioboro. Bu Jumirah mulai menekuni berjualan di daerah Malioboro setelah suaminya meninggal pada tahun 1990.Â
Lapak milik Ibu Jumirah ini berada di pinggir Jalan Malioboro yang tepatnya berada di depan Popeye Fried Chicken di seberang Pasar Beringharjo. Setiap hari bu Jumirah membuka lapaknya mulai dari jam 8 pagi hingga 9 malam. Terkadang Ibu Jumirah ditemani anaknya ketika berjualan, "kadang saya dibantu anak saya kalau dia baru longgar" ucap Bu Jumirah. Dalam lapaknya tersebut, ia menjual berbagai jenis baju baju santai, kaos, daster dan baju anak-anak berpola batik yang terdiri dari berbagai macam ukuran.
Harga yang tersedia untuk baju baju tersebut juga bervariasi, Bu Jumirah membandrol harga baju baju tersebut dengan rentang harga dua puluh hingga lima puluh ribu rupiah.
Kedatangan COVID-19 yang sedang melanda dunia ini menyebabkan pedagang kaki lima seperti Bu Jumirah harus menahan pahitnya berdagang tanpa kedatangan pelanggan sama sekali. "waktu corona kadang saya harus rela mendapat zonk dalam seharian" ujarnya.
kebijakan yang diberikan pemerintah semasa itu adalah pembatasan waktu yang diberikan kepada took-toko, warung lesehan, dan juga lapak penjual kaki lima. Pembatasan waktu tersebut adalah pedagang diharuskan untuk menutup lapaknya pukul 19:00 WIB, dan paling lama tutup adalah pukul 19:15 WIB.
Bu Jumirah juga sempat mengatakan bahwa pada saat itu banyak lapak dan warung lesehan yang memilih untuk libur. "walau sepi, saya tetap membuka lapak saya karena ini satu satunya mata pencaharian saya" lanjut Bu Jumirah.
Hari hari yang dilewati ketika sedang dalam penerapan PPKM adalah hari hari yang sepi tanpa pelanggan. Menurut Bu Jumirah para pedagang memilih tutup bukan hanya karena tidak adanya pelanggan yang datang ke lapak mereka, tetapi juga dikarenakan mereka takut terpapar oleh virus Corona tersebut.
Penurunan pengunjung yang datang ke Malioboro saat itu sangat drastis, jalan Malioboro pun terlihat sangat landai, pinggiran jalanya yang biasanya terdapat banyak pengunjung yang sedang berjalan terlihat sangat sepi kala itu.
Bu Jumirah juga mengalami penurunan pendapatan yg pesat ketika itu, "karena Malioboro yang sepi sekali pendapatan saya jadi turun jauh sekali" ucapnya. Ketika itu pendapatanya menurun hingga 60% dari hari hari biasanya.
Terkadang ketika ada pengunjung yang melewati lapaknya, pengunjung tersebut hanya melihat lihat dan bertanya tanpa membelinya, meskipun begitu Bu Jumirah tetap bersabar dan menekuni mata pencaharianya tersebut.
"Biasanya kalau weekend saya biasa buka sampai jam 10 malam karena biasanya Malioboro mulai ramai dari sore ke malam" tutur Bu Jumirah. Ia mengungkapkan bahwa sebelum adanya Corona, waktu weekend adalah hari hari yang paling ramai pengunjung dan juga pembeli.
Bu Jumirah tidak pernah melewatkan weekend untuk membuka lapaknya karena alasan tersebut. Namun datangnya Corona dan penerapan PPKM yang ada membuat weekend terasa sama seperti hari hari biasanya atau bahkan lebih sepi lagi.
Meskipun begitu Bu Jumirah tidak patah semangat dan tetap membuka lapaknya hingga saat ini. Menurutnya keadaan yang sekarang menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya dikarenakan sudah berakhirnya PPKM dan banyak masyarakat yang sudah beraktifitas seperti biasanya lagi.
Ia juga mengatakan "Malioboro yang sudah mulai ramai kembali membuat perekonomian saya sedikit demi sedikit mulai membaik", tetapi menurutnya jumlah pengunjung yang sekarang masih belum seperti ketika sebelum adanya pandemi.
"Pelanggan saya sebelum pandemi sangat bervariasi, mulai dari warga sekitar hingga  berbagai daerah di Indonesia bahkan tak jarang ada pelanggan yang berasal dari luar negeri yang mampir dan membeli baju baju yang saya jual" ucap Bu Jumirah. Meskipun sekarang kebanyakan pengunjungnya hanya warga lokal saja namun Bu Jumirah tetap bersyukur karena masi ada beberapa orang yang membeli daganganya.
Kondisi Malioboro yang sedikit demi sedikit mulai membaik mengembalikan semangat para pedagang yang berjualan di sekitar area Malioboro. Meskipun pandemi COVID-19 masih belum sepenuhnya berakhir namun masyarakat sudah jenuh terus menerus berada dirumah dan mulai beraktivitas seperti biasa.
Kondisi yang seperti sekarang ini jangan sampai membuat kita terlena dan lalai untuk tetap melakukan 3 M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak). Bu Jumirah juga berpesan agar kita tetap waspada dengan keberadaan COVID-19 yang masih ada. "sehat itu mahal harganya, jangan sampai berdagang membuat kita mempertaruhkan kesehatan, karena akan lebih merugikan kita" ucap Bu Jumirah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H