Mohon tunggu...
Raihan AbdulAjis
Raihan AbdulAjis Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa q

hidup itu tidak selalu tentang uang karena kenyamanan tidak bisa dibeli dengan uang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran media sosial dalam mengubah lanskap politik pemilu dalam prspektif sosiologi politik

11 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 14 Desember 2024   14:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Keunggulan utama media sosial adalah kemampuan untuk menciptakan komunikasi dua arah. Pemilih tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga dapat memberikan respons dalam bentuk komentar, berbagi konten, atau bahkan ikut berpartisipasi dalam diskusi publik. Dengan demikian, media sosial memungkinkan kandidat untuk lebih mendengarkan suara pemilih dan merespons secara langsung terhadap isu-isu yang berkembang. Dalam kampanye pemilu modern, hal ini memberi peluang bagi politisi untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan pemilih dan menanggapi kekhawatiran mereka dengan cepat.

Mobilisasi Pemilih dan Aktivisme Politik

Selain sebagai alat komunikasi, media sosial juga berfungsi sebagai platform untuk mobilisasi politik. Di berbagai pemilu, platform media sosial telah digunakan untuk mengorganisir acara-acara kampanye, menggerakkan pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara, dan bahkan mendukung gerakan-gerakan sosial yang terkait dengan isu-isu tertentu.[1] Misalnya, melalui kampanye berbasis media sosial, partai politik dapat mengajak pemilih muda untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pemilu, serta menginformasikan mereka tentang proses pemilihan dan cara untuk memilih. 

Lebih dari itu, media sosial juga memberi ruang bagi pemilih untuk menyuarakan opini mereka mengenai kandidat atau isu tertentu. Gerakan sosial yang didorong oleh media sosial, seperti gerakan MeToo atau BlackLivesMatter, misalnya, menunjukkan bagaimana media sosial tidak hanya digunakan untuk kampanye politik tetapi juga sebagai wadah aktivisme yang lebih luas yang dapat memengaruhi hasil pemilu.[2] Aktivisme politik di media sosial sering kali memberikan ruang bagi kelompok minoritas atau kelompok yang terpinggirkan untuk menyoroti masalah-masalah sosial yang penting, yang mungkin tidak mendapat perhatian di media konvensional. 

Disinformasi dan Manipulasi Politik

Namun, penggunaan media sosial dalam kampanye pemilu juga tidak terlepas dari  

tantangan besar, salah satunya adalah masalah disinformasi. Berita palsu dan hoaks dapat dengan mudah disebarkan di platform media sosial, yang dapat mengaburkan kebenaran dan mempengaruhi pilihan politik pemilih.[1] Di beberapa pemilu, misalnya pada Pemilu AS 2016, disinformasi yang disebarkan melalui akun-akun palsu dan berita yang dimanipulasi telah terbukti memengaruhi persepsi publik terhadap kandidat tertentu dan isu-isu penting lainnya. Bahkan, algoritma media sosial yang mengutamakan konten yang kontroversial dan sensasional dapat memperburuk masalah ini dengan memperkuat penyebaran informasi yang salah.

Selain itu, manipulasi politik juga menjadi isu serius dalam pemilu digital. Akun-akun palsu yang dikenal dengan istilah "bots" dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah interaksi dan menyebarkan pesan politik tertentu, baik untuk mempromosikan kandidat atau untuk menciptakan ketegangan antara kelompok yang berbeda.[2] Manipulasi data pemilih melalui iklan politik yang terpersonalisasi, yang didasarkan pada data pribadi yang diambil dari media sosial, juga menjadi perhatian besar terkait privasi dan etika kampanye. Penggunaan data pribadi yang tidak sah untuk mempengaruhi perilaku pemilih menambah kompleksitas masalah yang dihadapi dalam kampanye pemilu berbasis media sosial.

Polarisasi Politik dan Echo Chamber

Salah satu dampak negatif lainnya dari penggunaan media sosial dalam politik pemilu adalah polarisasi politik yang semakin tajam. Media sosial sering kali memperburuk perpecahan antara kelompok-kelompok dengan pandangan politik yang berbeda.[3] Platform seperti Twitter dan Facebook cenderung memperkuat opini yang sudah ada dengan algoritma yang menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan "echo chamber" atau ruang gema. Dalam ruang gema ini, pemilih hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka, sementara informasi yang bertentangan sering kali diabaikan atau tidak terlihat.

Polarisasi yang semakin tajam ini dapat menyebabkan ketegangan sosial dan memperburuk perpecahan dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun