Mohon tunggu...
dade samsul rais
dade samsul rais Mohon Tunggu... Konsultan - Mantan jurnalis, sekarang bergerak di bidang konsultan media

Saya tertarik menganalisis sosial politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Jokowi Menunjuk Prabowo

23 Oktober 2019   13:10 Diperbarui: 23 Oktober 2019   14:18 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anomali pembentukan kabinet ditorehkan Presiden Joko Widodo, hari ini. Kejutan yang tersiar dua hari terakhir terjawab tuntas setelah Jokowi melantik Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan berikut kader Gerindra Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sejak hari ini, Gerindra secara sah (sepertinya juga meyakinkan), beriring bersama  dengan pemerintahan Jokowi-KH Ma'ruf Amin.

 Menimbulkan pro kontra, iya. Menimbulkan kemarahan para pendukung masing-masing, baik Jokowi maupun Prabowo, juga iya. Tapi itulah politik. Tidak bisa ditatap secara hitam putih. Tidak ada teman atau musuh abadi di dalamnya. Yang ada, kepentingan saling menguntungkan.

Rekonsiliasi ala Jokowi-Prabowo juga,  bisa dipastikan tidak bebas dari pakem itu. Kita, hanya bisa berharap, dari sekian banyak kalkulasi kepentingan dari perkongsian ini, masih ada terselip kepentingan bangsa yang akan mengerek kehidupan kita ke depan lebih baik.

Saya melihat ada sisi strategis dan (pastinya) pragmatis dari perkongsian politik ini. Pertama, ini menyangkut langkah strategis Jokowi untuk pemerintahan periode keduanya, Kedua, sebagai langkah pragmatis untuk suksesi kepemimpinan 2024, baik bagi PDIP sebagai 'pemilik' kekuasaan saat ini, maupun  Prabowo dan Gerindra.

Sebagai langkah strategis, sangat kentara pada periode keduanya, Jokowi tak ingin kerjanya banyak diganggu oleh persoalan politik. Karakter Jokowi adalah pekerja. Dia akan melakukan pekerjaan yang telah dikalkulasinya baik dan bermanfaat meski tidak populer secara poltik. Karena itu, dukungan secara politik sangat ia perlukan sehingga waktunya tidak habis untuk 'meladeni' persoalan politik yang kadang tidak substansial.

Nah, belajar dari pemerintahan periode pertamanya, 'gangguan' terbesar yang menghantam Jokowi adalah ketika kekuatan politik di luar koalisi yang dimotori Gerindra dan PKS, berhimpun dengan kekuatan Islam politik. Mereka terus-menerus mengeksploitasi politik identitas secara massif dan terstruktur, yang sempat membuat Jokowi nyaris 'tersungkur'.

Oleh kelompok Islam politik, Prabowo sukses disimbolkan sebagai sosok kekuatan Islam untuk melawan rezim yang mereka narasikan dholim, anti Islam dan bla..bla..bla. Berhimpun dengan Prabowo, membuat kelompok Islam politik ini pun menjelma seolah-olah paling Islam dan besar karena merasa di-back up oleh Prabowo dan para jenderal di lingkarannya.  Dan, karena 'jualannya' agama,  taktik mereka sukses meraih simpati publik, terutama di kalangan  pemilih emosional.

Ujungnya, hasil pilpres 2019 Jokowi--sebagai incumbent--hanya menang dengan selisih sekitar 11 persen menjadi bukti betapa hebatnya kekuatan oposisi mengkapitalisasi politik identitas. Prabowo  yang pure nasionalis, tiba-tiba bermetamorfosa menjadi simbol kekuatan politik kanan akibat dahsyat dan militannya polesan yang dilakukan kelompok Islam politik.

Jokowi sadar, jika perkubuan lawan politik terus berjalan seperti itu, kembali akan merepotkan kerja periode keduanya. Karena itu, memecah Prabowo dengan kelompok Islam politik menjadi keniscayaan dan strategis.

Dan, gayung bersambut. Prabowo, rupanya juga mulai jengah dengan kekuatan Islam politik yang melingkarinya. Dia sadar, kekuatan Islam politik menungganginya untuk meraih kekuasaan. Padahal, Prabowo sangat paham, kelompok itu memiliki tujuan 'tersendiri' yang nyata-nyata bersilang jalan dengan kekuatan politik nasionalis, termasuk Prabowo dan Gerindra.

Penempatan Prabowo sebagai Menhan, juga merupakan langkah strategis Jokowi membendung infiltrasi pengaruh Islam politik termasuk kepada aparat negara yakni TNI dan Polri, berikut keluarganya.

Kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto, menyadarkan semuanya betapa infiltrasi konservatisme telah banyak menembus keluarga TNI. Di sinilah Prabowo dinilai strategis menjadi bumper negara untuk menangkal paham-paham konservatif itu. Tidak dapat dipungkiri, sosok Prabowo merupakan salah satu 'dewa' bagi keluarga besar militer Indonesia sehingga efektif untuk menjalankan peran itu.

Langkah Pragmatis untuk 2024
Goal politik adalah kekuasaan, dan kontinuitas dari kekuasaan itu sendiri. Karena itu, membaca makna di balik rekrutmen Prabowo dan kader Gerindra pada kabinet Jokowi, harus sebangun dengan pakem itu.

Saya melihat, masuknya Prabowo dalam kabinet, selain memperkuat pemerintahan periode kedua Jokowi, juga tak lepas dari suksesi kepemimpinan 2024. Pada 2024, PDIP sepertinya masih belum bisa 'release' Puan Maharani atau Prananda Probowo bertarung sebagai capres. Nilai jualnya masih kalah dibanding sosok-sosok muda lain, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini  dll.     

Di satu sisi, pasca Jokowi, Megawati pastinya menginginkan kontinuitas kekuasaan dan tak lagi sekadar anak ideologis PDIP yang menjadi pemuncak negeri, tetapi juga anak biologis sebagai upaya mempertahankan trah atau dinasti politik. 

Langkah yang paling rasional adalah dengan menempatkan salah satu dari dua putranya itu menjadi cawapres pada kontestasi politik 2024. Dan Prabowo, dinilai menjadi pilihan paling rasional sebagai 'patron' untuk berpasangan menjadi capres.

Kenapa Prabowo? Patut diakui, chemistry antara Megawati dan Prabowo sebenarnya cukup erat. Kedua, sepertinya pada 2024, Prabowo dinilai masih memiliki nilai jual. Dan ketiga, jika pun maju dan terpilih, hampir dipastikan Prabowo hanya akan menjalani sebagai kepala negara hanya satu periode karena faktor usia.

Dengan begitu, pilpres 2029, diharapkan menjadi pintu bagi bola kekuasaan jatuh ke tangan anak biologis Megawati yang diharapkan pada saat itu mereka sudah matang.  Dan yang lebih penting lagi, bagi PDIP, mengusung Prabowo, sekaligus untuk mengadang laju Anies Baswedan yang sejak sekarang terus-menerus dielus kekuatan politik kanan untuk menjadi pemuncak negeri 2024-2029.     

Bagi Prabowo, berkoalisi dengan PDIP juga dinilai lebih rasional baginya mengingat peluang keterpilihan menjadi lebih tinggi sebagai ikhtiar terakhir menjadi pemimpin negeri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun