Saya sengaja menulis judul ala sinetron, untuk menggambarkan unsur 'dramatisasi' penetapan cawapres oleh dua kandidat capres, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Jokowi yang selama ini dipersepsikan --lawan politik-- sebagai figur anti Islam dan anti ulama, Â justru kemudian menggandeng Ketua MUI KH Ma'ruf Amien sebagai cawapresnya.
Sebaliknya, Prabowo yang sedari 2014 oleh para pendukungnya selalu dipersepsikan sebagai simbol kekuatan Islam, di the last minute nan penuh dramatis, justru tidak memilih tokoh agama sesuai hasil ijtima ulama sebelumnya. Ia malah memilih, juniornya di Partai Gerindra, Sandiaga Solahudin Uno, yang sebelumnya menjabat sebagai Wagub DKI.
Pilihan yang tertukar kah ini? Dalam perbincangan di tataran awam, mungkin bisa dikatakan demikian. Minimal, bagi para pendukung keduanya, pilihan dari masing-masing capres itu cukup mengagetkan. Pendukung Jokowi banyak yang meyakini sebelumnya, bahwa capresnya itu akan menggandeng  Mahfud MD. Apalagi di menit-menit terakhir menjelang pengumuman cawapres, Mahfud MD seperti telah dipersiapkan untuk dideklarasikan.
Sedangkan, penetapan Sandiaga Uno, lebih mencengangkan lagi. Kok bisa Prabowo mengabaikan ijtima ulama? Apalagi kemunculan nama Sandi, sempat diikuti cuitan menggegerkan dari Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief. Ia menuding ada mahar politik, bahkan terlontar sebutan jenderal kardus, bagi Prabowo Subianto, akibat capres itu dinilai mengkhianati kesepakatan dengan Demokrat karena tidak jadi menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai cawapres.
Singkatnya, dalam kadar tertentu terjadi ketidaksesuaian antara ekspektasi publik pendukung masing-masing capres dengan keputusan yang diambil dua capres itu. Bagi pendukung Jokowi, Mahfud MD adalah sosok yang ideal; tegas, bersih serta berasal dari warga nahdiyin (NU) sehingga ia mewakili golongan hijau (Islam) yang sangat kompatibel dengan Jokowi.
Sebaliknya bagi para pendukung Prabowo, pemilihan Sandiaga Uno, seperti menghapus narasi besar kekuatan Islam yang selama ini selalu diusung dan diidentikan dengan Prabowo. Lantas tema besar apa yang akan diusung Prabowo, ketika dia tidak bersanding dengan ulama? Makanya, untuk tetap menjaga marwah kekuatan Islam melingkupi kubu Prabowo. Ketua Umum PKS Shohiibul Iman, sampai harus secara khusus memberi sebutan Sandiaga Uno, sebagai santri post islamisme.
Bagi mereka yang mengikuti dan paham 'dapur' politik, tentu apa yang terjadi dengan pilihan-pilihan cawapres ini, tidak mengagetkan atau memberi efek kejut luar biasa. Politik, adalah permainan kepentingan, demi meraih kepentingan (berkuasa) itu sendiri. Kepentingan lah yang menjadi nomor satu dalam politik, karenanya ia akan bergerak lincah ke tempat di mana peluang mendapat kepentingan itu lebih besar.
Ini juga sekaligus pelajaran bagi publik (awam), agar tidak baper memandang politik sebagai hal yang hitam putih, benar dan salah. Politik sangat berjarak dengan kebenaran hakiki, apalagi jika tingkat kedewasaan dan keberadaban perilaku politik pelakunya masih rendah seperti di negara kita.
Pemilihan KH Ma'ruf Amien oleh Jokowi, sudah saya duga sebelumnya, meski memang tidak yakin benar, mengingat ada sosok Mahfud MD, yang saya nilai lebih ideal. Tetapi sepertinya, Jokowi menetapkan Ketua MUI sebagai wakilnya itu sebagai jalan kompromi, antara kepentingannya dalam kontestasi politik, serta akomodasi kepentingan politik pengusung.
Untuk kepentingan kontestasi, KH Ma'ruf Amien, diharapkan akan menghentikan stigma yang selalu digelorakan lawan politik sedari pilpres 2014, bahwa ia berjarak bahkan anti Islam dan ulama. Labelisasi itu cukup merugikan Jokowi, bahkan sempat menggoyang kekuasaannya ketika demo berjilid-jilid umat Islam dimobilisasi secara massif, yang salah satunya dilatari fatwa MUI tentang kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).