Nah, di sinilah seorang Dimas Kanjeng Taat Pribadi mempertunjukkan ‘kecerdasannya’. Ia tangkap realitas kebuntuan berpikir masyarakat, menjadi peluang luar biasa menjanjikan bagi dirinya. Kepada masyarakat yang lelah, ia sodorkan tawarkan ciamik, bahwa ia pemilik ‘karomah’ salah satunya mampu menjadikan uang berduplikasi dengan nilai berlipat-lipat.
Untuk makin meyakinkan orang, ia kemudian pilih seorang Marwah Daud Ibrahim yang telah dikenal sebagai intelektual, sekaligus pengurus ICMI dan MUI untuk memimpin yayasan. Apalagi kemudian Dimas Kanjeng  bungkus ‘kemasan jualannya’ itu dengan bingkai agama, sehingga paripurnalah kepercayaan sebagian masyarakat kepadanya. Tak heran jika kemudian ribuan orang berikrar menjadi pengikut. Mahar mereka serahkan, dengan harapan suatu saat uang itu kembali dan bertambah berlipat-lipat.
Bahkan terkuak, ada pengikut yang rela menyerahkan uang ratusan miliar untuk digandakan sang raja. Bagaimana dengan pengikut seperti ini, bukankah ia tidak termasuk kategori masyarakat lelah tadi?
Gilasan mesin kapitalis, selain menciptakan ketimpangan dan kebuntuan hidup bagi mereka yang tidak menguasai sumber-sumber ekonomi, pada sisi lain menyuburkan seluas-luasnya karakteristik rakus atau serakah bagi mereka yang telah memiliki kekuatan atau menggenggam sumber-sumber ekonomi. Tidak adanya batasan penguasaan sumber ekonomi bagi individu dalam ruang besar kapitalis, membuat karakter rakus manusia semakin menemukan tempat terindahnya.
Karena itu, jika kemudian diketahui juga banyak dari pengikut Dimas Kanjeng berasal dari kalangan masyarakat berpunya, alasannya, saya yakini bukan karena kebuntuan hidup, atau rasa frustasi karena terbantai dalam persaingan hidup. Tetapi cenderung karena faktor keserakahan itu tadi.
Mari kita memandang kasus Dimas Kanjeng ini dengan perspektif lebih luas, tidak polos semata karena tindakan kriminal, pembunuhan maupun penipuan. Ada masalah besar di belakang yang melatarbelakanginya, yakni jurang ketimpangan ekonomi.
Konstruksi masalahnya, seperti telah disebut di atas, di satu sisi ada banyak manusia dibuat tak berkutik oleh sistem ekonomi yang lagi berjalan, tetapi di sisi lain, sekelompok manusia justru dengan kemampuannya terus mengumbar naluriah homo economicus-nya secara tanpa batas.
Inilah muara persoalannya menurut saya. Selama ‘alunan’ ekonomi berjalan seperti ini, selama itu pula fragmen serupa dengan kasus Dimas Kanjeng ini, akan selalu hadir, hanya alur cerita, tokoh dan tempatnya saja yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H