Mohon tunggu...
RAI Adiatmadja
RAI Adiatmadja Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya ibu rumah tangga yang gemar menulis. Memiliki fokus lebih dalam terhadap parenting dan kondisi generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyebab Stunting, Apakah Perkawinan Anak atau Kemiskinan yang Genting?

8 Oktober 2024   17:21 Diperbarui: 8 Oktober 2024   18:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Rizka Adiatmadja
(Penulis Buku & Praktisi Homeschooling)

Menyoal masalah stunting di Indonesia memang sangatlah genting. Apa hubungannya dengan perkawinan anak yang diwacanakan harus dicegah? Benarkah itu satu-satunya penyebab terjadinya stunting di negeri ini?

Menurut data UNICEF dan WHO, ada 154 negara yang memiliki catatan stunting dan Indonesia menempati peringkat ke-27. Artinya, Indonesia menduduki urutan ke-5 di Asia. Memprihatinkan, bukan?

Dikutip dari kemenag.go.id–Ada sekitar 1.276 penghulu se-Jawa Barat turut serta dalam "Workshop Gerak Penghulu Sejuta Catin Siap Cegah Stunting Zona 1 (17/9/2024). Menurut Toto Supriyanto sebagai Ketua Tim Kepenghuluan Bidang Urais Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, ada beberapa poin yang disampaikan.

Salah satunya poin keenam yang mengatakan bahwa penghulu mencatat penolakan nikah karena usia di bawah umur. Intervensi kolaboratif yang kemudian harus dilakukan. Ada kolaborasi antara penghulu dan instansi terkait untuk sekolah pranikah. (17/9/2024)

Penyebab Stunting

Penyebab sesungguhnya stunting adalah kemiskinan. Di mana akses untuk makanan bergizi teramat sulit. Sama halnya dengan layanan kesehatan yang tidak mudah didapatkan yakni pentingnya kebutuhan air bersih dan urgensi sanitasi.

Menurut undang-undang yang berlaku, maraknya perkawinan anak menjadi sinyalemen hambatan menciptakan generasi yang berkualitas. Adanya perkawinan anak menjadi bukti banyak yang putus sekolah, kematian ibu dan anak yang semakin banyak, problematika stunting, kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak lagi asumsi-asumsi negatif.

Jika tudingan demi tudingan tidak berdasar pada pertanggungjawaban data yang objektif maka semua hanya akan menjadi opini liar yang tentunya tidak bisa dibuktikan sebagai fakta. Sungguh mengerikan, ketika kebebasan diberikan ruang untuk beredarnya konten-konten pro seks bebas, tetapi di sisi lain untuk pernikahan yang halal diberikan rumitnya batas demi batas.

Ditambah lagi dengan PP Nomor 28 Tahun 2024 semakin membuka kanal kebebasan untuk penggunaan alat kontrasepsi dan aborsi. Seharusnya pemangku kebijakan fokus dengan serius untuk mengentaskan pergaulan bebas, bukan malah memberikan fasilitas. Menikah itu fitrah, sebaiknya pemerintah memberikan pendidikan yang kuat untuk membentuk pribadi bertakwa sehingga keluarga tangguh itu bisa diwujudkan secara nyata.

Ada program global/Barat yang dinamakan SDGs dan tentunya memiliki target agar diwujudkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Program tersebut tentu saja bertolak belakang dengan syariat. Target tersebut di antaranya pencegahan perkawinan anak dan stunting bahkan ini menjadi proyek nasional dan RPJMN 2020–2024. Target penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% di tahun 2024. Setelah sebelumnya menempati angka 11,2% di tahun 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun