Mohon tunggu...
Rahwiku Mahanani
Rahwiku Mahanani Mohon Tunggu... Penulis - Alien

suka BTS dan bikin prakarya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Inferioritas Berbahasa dalam Kehidupan Bermasyarakat

16 Januari 2020   22:29 Diperbarui: 17 Januari 2020   10:35 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Disclaimer: tulisan ini hanya ceracauan, sama sekali bukan sesuatu seperti karya ilmiah.

Saya banyak melamun setiap berada di perjalanan, tak terkecuali perjalanan singkat menuju tempat indekos. Malam kemarin agak berbeda dari malam-malam sepulang kerja yang sudah lalu. Pengemudi ojek online yang mengantarkan saya pulang, menyapa dengan sebutan "Mbak".

Bagi saya yang belum begitu lama di Jakarta, itu adalah kejadian langka. Paling sering saya disapa dengan "Kak". Oh iya, kadang-kadang saya juga dipanggil "Bu", meski saya belum "ibu-ibu". Namun, tidak masalah, itung-itung impas karena saya sering menyapa para pengemudi dengan sebutan "Pak", meski mereka belum "bapak-bapak".

Bahasa adalah hal yang cukup sensitif bagi saya. Bukan semata-mata karena saya sempat belajar linguistik di kampus dulu, tapi karena pada dasarnya saya suka mengamati.

Terkadang saya suka berbicara, tapi kalau diminta memilih, saya lebih sering merasa jauh lebih gemar mendengarkan. Mungkin kalau ditelisik lagi, semua itu karena saya suka mengamati manusia.

ilustrasi: pixabay.com
ilustrasi: pixabay.com
Sementara saya pribadi selalu merasa seperti alien di semesta ini. Kita ini, manusia, begitu bukan? Selalu merasa yang tidak kita miliki, terlihat lebih menarik, lebih baik.

Kembali ke prolog di atas, sapaan "Mbak" memang istimewa bagi saya. Di kampung saya, di Gunungkidul atau ketika di kotanya, Yogyakarta, sapaan "Mbak" sangat umum dan biasa. Namun, karena saya mendengarnya di Jakarta, rasanya jadi berbeda.

Alaminya saya pun biasa menyapa dengan kata tersebut. Namun, seingat perasaan saya, di lingkungan saya sekarang lebih umum menggunakan kata "Kak". Sehari-hari saya pun ikut-ikutan karena entah bagaimana lama-lama saya merasa "Mbak" terdengar tidak umum, terdengar berbeda, dan terdengar agak tidak sesuai.

Lalu tiba-tiba satu malam saya disapa "Mbak" oleh pengemudi ojek online yang masih muda dan berpenampilan rapi membuat saya tercenung. Mungkin karena kerinduan, mungkin juga seperti dilempar kembali ke akar, disapa begitu meski oleh orang yang tidak saya kenal bisa menimbulkan secercah kehangatan.

Saya merasa bertemu saudara di ibu kota, tempat saya baru-baru ini hidup merantau. Untuk beberapa saat, saya merasa takjub sendiri. Seolah baru tersadar bahwa rupanya dampak bahasa, setidaknya yang saya alami, terasa begitu hebatnya. Bahasa membuat orang asing terasa seperti saudara.

Malam itu, untuk sesaat saya merasa kembali menjadi diri sendiri sewaktu berkata "Makasih ya, Mas" dan bukannya "Makasih ya, Kak".

Setelahnya pikiran saya terlempar ke beberapa tahun sebelumnya. Tiba-tiba saya mengingat celetukan seorang teman di tengah obrolan dalam satu acara kumpul-kumpul.

Teman saya ini bahasa ibunya adalah bahasa ngapak. Singkatnya, saya berada di antara perbincangan teman-teman saya yang berbahasa Jawa ngapak.

Tentu saja saya kebingungan mengikuti obrolan, maka salah satu teman selalu menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena ia juga tidak bisa berbahasa Jawa sebagaimana yang saya pakai.

Nah, dengan candaan bernada kesal, teman "penerjemah" saya ini tiba-tiba nyeletuk yang intinya kira-kira begini: "Kenapa sih harus kita (orang ngapak) yang ngejelasin kalau orang lain (yang bisa bahasa Jawa juga tapi bukan penutur bahasa Jawa ngapak) enggak ngerti sama yang kita omongin. Kenapa harus kita yang menyesuaikan, bukan mereka yang gentian berusaha mengerti?"

Seketika saya tertawa mendengar kekesalannya tersebut. Tawa yang getir. Memang kenyataannya, di masyarakat kita bukan hanya strata sosial saja yang berjarak. Namun, ada jurang lebar dalam dunia berbahasa kita.

Teman saya tadi sebenarnya hanya ingin menyampaikan bahwa ia merasa jengah karena bahasanya seolah seperti ter-nomor-duakan. Sebagaimana yang kita ketahui, yang lebih berkuasa itu selalu memimpin dan menuntut dilayani.

Dalam kasus yang saya alami, mungkin jika saya sedang bercakap dengan "teman ngapak" saya tersebut, stratanya saya yang lebih tinggi karena bahasa Jawa yang saya gunakan adalah bahasa Jawa Jogja, bahasa Jawa halus.

Pandangan masyarakat kebanyakan masih berpikiran bahwa bahasa Jawa yang berkiblat keraton ini adalah yang lebih agung, lebih baik. Kalau mengingat yang saya pelajari di bangku kuliah, sebenarnya hal ini adalah perkara politis. Pembahasannya sangat menarik, tapi kali ini saya tidak akan terfokus ke hal ini.

Nah, namun demikian, menganut ungkapan di atas langit masih ada langit, toh bahasa Jawa Jogja yang "agung", yang melekat di lidah saya, yang membuat teman ngapak saya kesal itu, juga inferior jika dipergunakan di ibu kota.

Dalam artian personal yang saya alami, terbersit perasaan kerdil saat secara lisan saya menyapa teman perempuan di kantor dengan "Mbak" dan "Mas". Kami biasa memakai "Kak" untuk rekan kerja. Kalau untuk atasan, kebetulan memang biasa dipergunakan sapaan "Mbak" dan "Mas" karena beberapa alasan khusus.

Kekerdilan ini makin terasa ketika bahasa tersebut tidak dipergunakan secara lisan, melainkan melalui tulisan. Di chat misalnya, saya sering harus berpikir berkali-kali apakah akan menulis "Kak" atau "Ka", karena entah bagaimana bahasa percakapan di ibu kota dari yang saya amati umumnya memakai "Ka" atau "Kaka" dan bukannya "Kakak".

Perlu dicatat, pembicaraan ini di luar konteks mana yang baku atau yang baik dan benar.
Bagi saya hal tersebut bukan suatu masalah. Hanya saja poin yang ingin saya sampaikan adalah bahkan di level sesederhana menulis pesan singkat saja bisa menimbulkan gejolak dalam benak.

Sebenarnya mudah bagi saya untuk mengetahui akar dari gejolak tersebut. Kalau mau jujur, sebetulnya sederhana. Saya hanya merasa dilema, jika saya ikut-ikutan menulis "Ka" atau "Kaka" saya merasa itu bukan diri saya. Namun, kalau menulis "Kak" atau "Kakak", rasa-rasanya kok saya akan kelihatan berbeda.

Sayangnya saya memang masih takut terlihat berbeda, sebab dalam perbedaan ini saya berada di sisi yang inferior. Saya ragu-ragu apakah saya siap kelihatan "medok" meski kenyataannya saya memang orang Jawa yang kalau bicara bahasa Indonesia, tentu saja medok. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa salahnya juga medok? Apa lucunya berbicara ngapak? Ah, pikiran saya memang rumit.

Sementara sehari-hari saya bergulat dengan persoalan yang mungkin bagi kebanyakan orang tampak remeh, bumi terus berputar. Dan dimana-mana masih banyak membentang jurang kesenjangan yang dalam dan lebar.

Bahkan, dalam urusan berbahasa saja ada yang masih terjajah. Barangkali memang tidak ada yang benar-benar bisa memberikan kita kemerdekaan, kecuali keyakinan dan kepercayaan diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun