Perlu dicatat, pembicaraan ini di luar konteks mana yang baku atau yang baik dan benar.
Bagi saya hal tersebut bukan suatu masalah. Hanya saja poin yang ingin saya sampaikan adalah bahkan di level sesederhana menulis pesan singkat saja bisa menimbulkan gejolak dalam benak.
Sebenarnya mudah bagi saya untuk mengetahui akar dari gejolak tersebut. Kalau mau jujur, sebetulnya sederhana. Saya hanya merasa dilema, jika saya ikut-ikutan menulis "Ka" atau "Kaka" saya merasa itu bukan diri saya. Namun, kalau menulis "Kak" atau "Kakak", rasa-rasanya kok saya akan kelihatan berbeda.
Sayangnya saya memang masih takut terlihat berbeda, sebab dalam perbedaan ini saya berada di sisi yang inferior. Saya ragu-ragu apakah saya siap kelihatan "medok" meski kenyataannya saya memang orang Jawa yang kalau bicara bahasa Indonesia, tentu saja medok. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa salahnya juga medok? Apa lucunya berbicara ngapak? Ah, pikiran saya memang rumit.
Sementara sehari-hari saya bergulat dengan persoalan yang mungkin bagi kebanyakan orang tampak remeh, bumi terus berputar. Dan dimana-mana masih banyak membentang jurang kesenjangan yang dalam dan lebar.
Bahkan, dalam urusan berbahasa saja ada yang masih terjajah. Barangkali memang tidak ada yang benar-benar bisa memberikan kita kemerdekaan, kecuali keyakinan dan kepercayaan diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H