Setelahnya pikiran saya terlempar ke beberapa tahun sebelumnya. Tiba-tiba saya mengingat celetukan seorang teman di tengah obrolan dalam satu acara kumpul-kumpul.
Teman saya ini bahasa ibunya adalah bahasa ngapak. Singkatnya, saya berada di antara perbincangan teman-teman saya yang berbahasa Jawa ngapak.
Tentu saja saya kebingungan mengikuti obrolan, maka salah satu teman selalu menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena ia juga tidak bisa berbahasa Jawa sebagaimana yang saya pakai.
Nah, dengan candaan bernada kesal, teman "penerjemah" saya ini tiba-tiba nyeletuk yang intinya kira-kira begini: "Kenapa sih harus kita (orang ngapak) yang ngejelasin kalau orang lain (yang bisa bahasa Jawa juga tapi bukan penutur bahasa Jawa ngapak) enggak ngerti sama yang kita omongin. Kenapa harus kita yang menyesuaikan, bukan mereka yang gentian berusaha mengerti?"
Seketika saya tertawa mendengar kekesalannya tersebut. Tawa yang getir. Memang kenyataannya, di masyarakat kita bukan hanya strata sosial saja yang berjarak. Namun, ada jurang lebar dalam dunia berbahasa kita.
Teman saya tadi sebenarnya hanya ingin menyampaikan bahwa ia merasa jengah karena bahasanya seolah seperti ter-nomor-duakan. Sebagaimana yang kita ketahui, yang lebih berkuasa itu selalu memimpin dan menuntut dilayani.
Dalam kasus yang saya alami, mungkin jika saya sedang bercakap dengan "teman ngapak" saya tersebut, stratanya saya yang lebih tinggi karena bahasa Jawa yang saya gunakan adalah bahasa Jawa Jogja, bahasa Jawa halus.
Pandangan masyarakat kebanyakan masih berpikiran bahwa bahasa Jawa yang berkiblat keraton ini adalah yang lebih agung, lebih baik. Kalau mengingat yang saya pelajari di bangku kuliah, sebenarnya hal ini adalah perkara politis. Pembahasannya sangat menarik, tapi kali ini saya tidak akan terfokus ke hal ini.
Nah, namun demikian, menganut ungkapan di atas langit masih ada langit, toh bahasa Jawa Jogja yang "agung", yang melekat di lidah saya, yang membuat teman ngapak saya kesal itu, juga inferior jika dipergunakan di ibu kota.
Dalam artian personal yang saya alami, terbersit perasaan kerdil saat secara lisan saya menyapa teman perempuan di kantor dengan "Mbak" dan "Mas". Kami biasa memakai "Kak" untuk rekan kerja. Kalau untuk atasan, kebetulan memang biasa dipergunakan sapaan "Mbak" dan "Mas" karena beberapa alasan khusus.
Kekerdilan ini makin terasa ketika bahasa tersebut tidak dipergunakan secara lisan, melainkan melalui tulisan. Di chat misalnya, saya sering harus berpikir berkali-kali apakah akan menulis "Kak" atau "Ka", karena entah bagaimana bahasa percakapan di ibu kota dari yang saya amati umumnya memakai "Ka" atau "Kaka" dan bukannya "Kakak".