Dalam ajaran Buddhis, perkawinan tidak dianggap sebagai sebuah upacara keagamaan yang sakral seperti dalam banyak agama lain. Sebaliknya, perkawinan dilihat sebagai ikatan sosial yang bertujuan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan kedua belah pihak, dengan landasan utama pada komitmen dan cinta kasih (mett). Sang Buddha sendiri tidak menetapkan aturan atau ritual tertentu untuk perkawinan, dan dalam banyak budaya Buddhis, upacara perkawinan biasanya lebih dipengaruhi oleh adat setempat.
1. Perkawinan Sebagai Ikatan untuk Kebahagiaan dan Kesejahteraan
Dalam Sutta Sigalovada Sutta (Digha Nikaya 31), Sang Buddha menjelaskan tentang hubungan dan tanggung jawab suami-istri dalam perkawinan. Dikatakan bahwa seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan penuh hormat, cinta, dan perhatian, sementara seorang istri hendaknya menghormati, mendukung, dan menjaga kehormatan suaminya. Sang Buddha menyarankan agar pasangan hidup dengan saling menghargai dan memahami, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan.
Secara khusus, Sang Buddha mengajarkan lima kewajiban suami kepada istri:
Memperlakukan dengan baik dan penuh kasih.
Tidak bertindak kasar.
Setia dalam perkawinan.
Memberikan otoritas dalam urusan rumah tangga.
Memberikan perhiasan atau hadiah sebagai tanda perhatian.
Sementara itu, istri juga memiliki lima kewajiban kepada suami:
Menjalankan tugas rumah tangga dengan baik.