Tuan, aku berhenti jualan. Karena aku semakin dekat dengan kelulusan. Kuputuskan untuk pergi mencari skill lain. Dan, Soal lulus aku mencoba tenang! Aku percaya setiap halangan yang Allah beri akan bisa kulewati. Cepat atau lambat cuma perkara waktu. Aku hanya perlu bersabar. Â
*Â
Tuan, malam minggu sebelum organisasi yang kucinta mubes. Aku dan seluruh pengurus inti makan malam di sebuah warung anak muda. Sebelum itu, aku lihat Ifan sangat akrap dengan perempuan lain. Ya, itulah Ifan! Dia memang akrab dengan siapa pun. Semua orang yang ada didekatnya, merasa spesial dibuatnya.Â
Syukur saja, aku mengenalnya. Kalau tidak, mungkin aku akan kepincut dengan auranya yang membawa kebahagiaan.*
Saat musyawarah besar organisasi kami tuan, malam hari ketkka Ifan yang memimpin sidang itu sedang lelah-lelahnya di serang habis-habisan oleh dinamika yang banyak drama.Â
Kawanmu Hanif  datang,  seketika ekpresiku menjadi tak enak. Karena ada kenangannmu di wajahnya, itu pun  di dekatku. Dulu aku membenci temanmu ini, sekarang aku muak denganmu tuan. Lalu, aku sadar lagi. Sungguh, tak ada gunanya aku bersikap seperti ini. Diantara kalian tak ada yang bersalah. Hanya aku dan semua kebodoohanku.Â
Maka dengan sigap kusapa Hanif, beberapa kali kami bercerita. Lalu, karena memang tak biasa saling bicara. Kami diam!*
Bersamaan dengan kebebasanmu menjadi burung yang sekarang terbamg bebas. Aku tengah duduk di sebuah kursi dekat jendela.Â
Di depanku ada sebuah komputer merek lama. Cahaya  senja, menembus kaca jendela itu. Mengenai sebagian tubuh komputer itu. Sementara jariku, tengah menari-nari di keyoboard komputer itu. Aku menuliskan sebuah puisi*
"Zahra, selesai itu.  Kamu kerjakan ini!." Ucap bossku sambil  meletakkan map plastik berwarna hijau di depanku.Â
Sialan, bagaimana aku akan wisuda kalau proposalku saja tak pernah kusentuh? Aku sibuk menyentuh berkas-berkas perusahaan ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku dan keluargaku butuh makan. *