"Kalau tak punya uang gak usah kuliah," ucapnya. Seolah-olah hanya orang-orang yang punya uang saja yang boleh mendapatkan pendidikan.Â
"Kamu makan?"Â
"Tentu Bu. Makan itu tentunya jauh lebih penting, karena itu kebutuhan pokok," ucapku.Â
"Kamu gak usah bohong, kamu pasti punya uang kan. Sekarang kamu pilih mana, kamu beli buku. Atau, kamu keluar." Dia kira Aku takut dengan ancaman kuno itu.
 Dengan kepala dingin, Aku bersikap tenang. Aku mulai memberikan opiniku. Aku tahu calon profesor sepertinya pasti bisa menerima apa yang akan kusampaikan ini.Â
"Mohon maaf Ibu, tapi Ibu bilang sebelumnya membeli buku tidak wajib. Saya masih ingat betul, tidak ada kesepakatan kita di kontrak kuliah untuk membeli buku. Dan tiba-tiba saja ibu mewajibkan kami, itu pun saat perkuliahan hampir akan selesai" kataku.
 "Benarkan, apa yang saya bilang. Kamu itu gak mau beli buku bukan karena gak punya uang."  Aku Diam.Â
"Sekarang, Aku tanya ke kamu itu kan pas kontrak kuliah. Sekarang Aku wajibkan, kenapa kamu gak mau? Kamu gak suka? Keluar!" katanya dengan nada tinggi.
 "Maaf Bu, saya kira tak ada alasan untuk saya keluar. Karena bahkan di ketentuan kampus tidak ada peraturan yang mengatakan jika tidak membeli buku Ibu. Maka tidak boleh masuk kuliah. Peraturan seperti itu tidak ada Bu"
Wajah perempuan Tua itu mengerut, kali ini ia merasa geram denganku. Ia langsung mencoret namaku dari absen. Mungkin karena aku adalah orang pertama yang berani protes padannya. Aku sudah tidak dianggap ada dikelas itu. Ia kemudian melakukan pembelaan atas dirinya. Dia kuras emosi mahasiswa yang lain, dengan menceritakan masalah pribadinya. Sungguh manusia yang manipulatif.Â
"Seharusnya Ibu tidak menceritakan masalah pribadi kepada kami, dan seharusnya Ibu tidak menjadikan masalah pribadi sebagai alasan untuk pembelaan," ucapku.