"Udah sampai mana, bimbinganmu?" Tanya wanita cantik itu. Â Ia membuka kacamatanya, lalu kulihat di lapnya dengan sebuah kain, sambil duduk di sampingku. Â
"Masih disitu-situ aja Dan, doain yah. Biar cepat. Kamu gimana?" Jawabku.Â
"Aamiin, kalau Aku sih Insya Allah segera daftar sempro. Doain yah Mi" ucapnya padaku.Â
Itu percakapan kami terkahir, waktu itu kami bertemu di fakultas, tepat di ruangan prodi. Kami sedang memantau kehadiran dosen yang kami tunggu-tunggu. Maklum, bagi mahasiswa dosen itu lebih dari sekedar artis. Mungkin mereka lebih seperti dewa, yang diagung-agungkan dan dikejar-kejar para pemujanya. Â Apalagi yang kami cari-cari adalah pembimbing. Â Kami rela menunggu dari pagi buta, sampai adzan magrib berkumandang, demi menemui orang penting . Apalagi alasannya? Â tentu saja, itu semua agar masa skripsian ini selesai. Â
Jumat sore, setelah pembekalan  magang, Aku bertemu dengan gadis cantik itu lagi. Ia tersenyum lebar, tulus sekali senyumannya. Cantik, dan membuat mataku yang melihatnya terngiang-ngiang akan parasnya. Seketika, Aku ingat hari pertama Aku mengenal gadis itu.Â
Waktu itu, saat semester 2 kami sekelas. Masa itu adalah ketika kami mengikuti program ma'had (Pesantren) Â kampus. Aku dipertemukan Tuhan dengannya saat Mata kuliah PKN. Waktu itu, dosen kami Pak Nasir membagi kami ke beberapa kelompok dan gadis jelita itu Menjadi bagian dari kelompokku. Â Ia memperkenalkan namanya padaku, dengan tutur kata lembutnya. Saat itu, kami dibagi kelompok debat. Disana, ku sadari Dia adalah gadis yang cerdas. Buktinya, dia selalu mengusipkan balasan dari lawan debat kami kepadaku. Suaranya agak pelan, mungkin dia pemalu. Tapi, dia itu cerdas. Â
Senyumnya itu juga mengingatkan Aku. Saat Aku dan dia tak sengaja bertemu di fakultas, saat itu banyak Anak laki-laki yang melihat ke arah kami. Aku tahu, mereka sedang memperhatikannya. Â Wajar, selain parasnya yang cantik. Akhlak-nya juga amat baik, tutur katanya juga lembut. Katakan, siapa yang tak terpikat dengan pesona gadis seperti Dia. Aku saja seorang wanita, mengaguminya.Â
Senyumnya di jum'at itu sungguh terngiang-ngiang di ingatanku. Di malam hari, tiba-tiba saja aku mengingat wajahnya. Kubuka ponselku, kucari profil instagramnya. Lalu, kutemukan  akunya yang begitu indah. Ia amat suka fotografi, Aku juga ingat, dia suka melukis. Beberapa kali, lukisannya lewat dari beranda instagramku.  Namun, dia pemalu. Setelah beberapa hari, dia akan menghapus postingan itu. Aku kagum pada sifat anggunnya. Andai saja, dia bisa menjadi teman akrabku. Aku ingin mengenalnya lebih dekat.Â
Di hari jumat yang sama, satu minggu setelah senyumnyannya yang memabukkan itu. Aku masih terngiang-ngiang dengan ketulusan wajahnya. Â
"Innalillahi wa innalillahi rajiun, Telah berpulang ke rahmatullah saudari kita Dani" Sebuah notif dari grup whatsap di hpku, membuat jantungku tak beraturan. Aku langsung membuka grup, kubaca keabsahan berita itu.Â
Yang benar saja, berita itu ternyata benar. Bagaimana mungkin gadis baik itu meninggalkan orang-orang yang ia sayangi di usia ini? Dia masih muda, dan sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana. Â Lalu, kenapa Tuhan mencabut nyawanya begitu cepat? Bahkan aku belum sempat mengenal dia dengan dalam. Padahal, Aku masih ingin mengenal dia lebih dalam lagi.Â
Air mataku tak bisa kubendung. Gumpalan daging yang bernama hati, seolah tersayat-sayat tanpa darah. Â Aku saja, yang baru masuk dalam hidupnya, walau hanya sekedar singgah. Merasakan kehilangan yang amat dalam. Â Lalu, bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana dengan teman-teman dekatnya? Bagaimana dengan orang-orang yang mencintainya. Bagimana dengan Dia yang diam-diam mengirimkan doa kepadanya. Â
"Jadi Mi, Dani itu kecelakaan. Dia terpelanting hingga masuk ke kolong truk Lalu, mengenai pembuluh darahnya. Saat diperjalanan ke rumah sakit. Beliau pun menghembuskan napas terkahir" kata  Uswah, kawan magangku.Â
Tetes air mataku, tak berhenti mengalir. Orang baik itu, yang pertama menemui dzat yang maha Agung.Â
Ku ingat, Aku masih melihat story instagramnya tadi siang. Sebuah foto estetik yang ia tangkap, dengan panorama yang amat indah. Ia memang pecinta seni. Foto itu adalah ranting-ranting pohon yang gundul dengan warnanya yang kelam.Â
Lalu, Aku ingat lagi senyumannya seminggu yang lalu. Rupanya senyuman itu, adalah senyuman pamit. Tuhan sebenarnya sudah memberikan sinyal, namun Aku tak paham.Â
Malam itu, angin sepoi-sepoi menggerogoti pori-pori Ku. Air mataku, tak henti-hentinya menjatuhkan butir-butir kepedihan . Tuhan, belum sempat diri ini mengenalnya lebih dalam.Â
Bayangan kalimat terkahir yang kami bincangkan di fakultas kala itu terus menghantuiku  "Alhamdulillah sebentar lagi Aku daftar sempro,  doain yah Mi" Bagaimana aku menahan luka ini? Aku menjadi salah satu saksi atas perjuangannya untuk melihatnya menyandang gelar sarjana.Â
Sialan, Â kami berusaha mati-matian untuk berjuang. Hingga kematian itu pun tak terelakkan.
Mirisnya, sebuah partikel  kecil di dalam ubun-ubunku seperti menertawakanku.  Mati-matian kami ingin memperjuangkan sebuah gelar, namun gelar itu hanya sebuah nama belakang. Pada akhirnya, yang bergelar atau pu tak bergelar semua manusia akan kembali ke bumi.Â
Melihat usia gadis jelita nan dermawan itu, yang teramat masih muda. Usianya sama sepertiku dan kawan-kawan sebayaku. Ini, menandakan kematian tak mengenal usia. Lalu tiba-tiba rasa takut menghantui pikiranku. Maut pun seolah sedang mengintaiku, Bagaimana jika setelah ini adalah gilaranku?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H