Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lampu-lampu Kota

30 November 2023   18:41 Diperbarui: 30 November 2023   18:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota mana yang tak bercahaya di kala malam? Bahkan kota kecil seperti kotaku ini. Selalu dihiasi kerlap-kerlip cahaya di saat malam. Siapa yang  menyangka jembatan di siang hari terlihat seperti tempat para dedemit  menjadi sebuah pemandangan menawan ketika malam. Hanya karena di jembatan itu dipasangi lampu-lampu warna-warni?

Ini kota Bung, di sini  arwah gentayangan hanya mitos belaka. Wanita tak boleh sendiri keluar malam di sini hanya cerita rakyat saja. 

Malam itu,  Aku tak melihat ada bulan. Mungkin bintang-bintang pun sedang enggan untuk keluar. Aku tengah sendiri di gedung pencakar langit yang amat sepi. Karena bosan Aku berjalan-jalan ke atap gedung yang punya 27 lantai ini. Dari atap kutatap nuansa kota yang terang benderang, kerlap-kerlip lampu kota dengan bermacam warna. Pantaslah kalau Nenekku dulu bilang kota tak pernah tidur. Mungkin jika Kau seorang penyair dan sedang berada di posisiku Aku yakin Kau akan duduk di rooftoop gedung, ditemani segelas kopi dan Kau mulai merancang bait-bait puisi. 

Aku memandangi cahaya-cahaya kota itu. Kemudian Aku teringat akan ucapan  Bundaku. 

“Mi, Kamu harus tahu kota itu adalah tempat yang bagus untuk pendidikan dan meraih kesuksesan. Tapi Kalau untuk pergaulan, di kota sulit menemukan teman yang sejalan,” ujar Bundaku. Aku baru saja mempertanyakan kenapa Bundaku tak pernah mengizinkanku keluar malam. “Rumi janji Bun, Rumi bakal jaga diri. Please satu malam ini aja. Teman- teman Rumi pasti kecewa kalau Rumi enggak ikut” Aku terus memaksa Bundaku untuk memberi izin.  “Bun, usiaku kan sudah 19 tahun. Sejak kecil Aku tak pernah diperbolehkan untuk keluar malam ke pusat kota. Aku juga ingin tahu Bun seperti apa kota kita di kala malam. Rumi mohon Bun sekali ini aja  boleh ya Bun. Kita rame- rame kok Bun.” Aku masih terus berusaha. 

“Rumi, teman- teman di kota susah untuk dipercaya Bunda gak mau terjadi apa-apa sama Kamu Mi" Ujar Bundaku. “ Rumi janji Bun, sekali ini aja. Please" Aku memohon dengan penuh pengharapan. “Terserah Kamu saja, jika Kamu mau pergi silakan tapi ingat hati- hati.  Di kota ini saat malam bisa terjadi apa saja,”  ucap Bundaku. Aku sangat senang, akhirnya Bundaku memberiku izin untuk keluar malam ke alun-alun kota. Aku pun memeluk Bundaku. “Terimakasih banyak  Bun,” ucapku gembira. Aku langsung bergegas ke kamar untuk bersiap- siap. Teman- temanku mungkin akan segera datang menjemputku.  15 menit kemudian Sarah, Adinda, dan Fandi datang menjemputku. 

“Ada laki-laki Mi?“ Bisik Bunda ke telingaku. “Cuma satu Bun, Dia juga cupu biasa main sama perempuan” Bisikku balik. Bundaku hanya diam, tapi raut wajahnya tentu menunjukkan kalau Bunda tak ingin anak gadisnya keluar dengan anak laki-laki. Padahal Aku sudah jelaskan kalau Fandi itu sudah biasa bergaul dengan perempuan. Aku menyalim Bunda dan berpamitan. Kemudian Aku dan teman-temanku pun berjalan menuju alun-alun kota untuk merayakan ulang tahun Sarah juga merayakan kesuksesanku menjadi juara umm berturut-turut selama 2 tahun ini. Betapa tidak saat kendaraan kami memasuki area jalan raya, Aku disuguhkan dengan pandangan kota yang begitu menawan. Lampu-lampu beraneka warna terpasang di setiap gedung, percetakan tempatku memfoto kopi tugas-tugas sekolah di sulap menjadi warung ayam penyet yang sangat ramai akan pengunjung, di pinggir jalan banyak remaja-remaja tanggung berkeliaran rata-rata mereka adalah laki-laki.

 Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang  pun mengeluarkan lampu-lampu indah. Aku tak menyangka kalau kota akan seramai ini saat malam. Apa lagi setelah sampai di alun- alun kota. Berpuluh Pedagang berjualan di sana dengan berbagai macam dagangan. Ada yang menjual boneka-boneka lucu, sendal, mainan anak-anak, dan tentunya makanan-makanan siap saji yang begitu lezat. Aku terpukau dengan keindahan kotaku di malan hari. Saat ke sekolah Aku tak pernah melihat semua ini saat siang. Tak pula kulihat di rumahku saat malam. Aku terbiasa tidur setelah salat isha. 

Waktu kecil Aku sering memohon- mohon pada Ayah untuk mengajakku ke pasar malam atau setidaknya sekali saja mengajakku ke pusat kota. Tapi Bundaku melarang. Katanya  anak perempuan tidak bagus keluar malan apa pun itu alasannya. Palingan Bunda hanya memberi izin Aku keluar ke rumah tetangga sebelah, atau ke warung di sekitaran rumahku. Pokoknya kata Bunda tidak boleh jauh-jauh dari rumah. 

Teman- temanku sering menceritakan ini-itu soal malam, seperti Adinda Ia terbiasa nongkrong di cafe setiap malam dengan teman-teman satu club baskentnya.  Dia sering bilang kalau tidak ke cafe dunianya terasa hampa. Karena di sana kita bertemu orang-orang seusia kita, bisa diajak berteman, berdiskusi di tempat nyaman, di temani segelas kopi dan pemandangan kota yang berwarna-warni. Aku juga baru sadar kalau riuh pusat kota itu sama persis dengan riuhnya pasar tradisional. Para pengamen yang menyanyikan lagu-lagu, penjual boneka yang menjajaki dagangannya, dan remaja-remaja sebaya yang tertawa di sekeliling penjual makanan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun