Aku meninggalkan segala rasa nyamanku waktu itu; dan memilih menghabiskan masa mudaku bekerja demi memenuhi kesungguhan hidup bersamamu. Kau pun juga terlihat begitu. Kau lebih rajin bekerja dari biasanya. Sering kali kau ingatkan aku akan target yang harus kita capai.Â
Sering kali kau menasehati untuk lebih berusaha memprioritaskan keluarga dibanding segalanya selama kita belum halal,Â
Waktu kita semakin dekat, untuk bisa menumpas jarak yang membuat rindu tercekat., terbayang tubuh mu ku dekap lalu mata indahmu ku tatap.Â
Namun, pada hari yang tak pernah kuduga. Jam-jam yang kuanggap semua akan baik-baik saja. Kau hempaskankan segalanya. Kau hancurkan semua yang telah kubangun dengan sepenuh jiwa. Kau katakan kepadaku; kita tak punya waktu, kita hanya di pertemukan untuk menjadi teman,  kau ingin menjalani hidup dengan  orang yang berada di masa lalumu, ternyata diam-diam kamu memintanya kembali ke hidupmu.Â
Ah, aku sempat ingin berlari meninggalkan kotaku, menangisimu di sepanjang malam ku dan berhayal Menghabiskan hari-hari sedih di kota lain untuk membunuh waktu yang terasa pedih.Â
Aku bahkan tak percaya; bagaimana mungkin orang yang kusebut cinta ternyata menusukkan luka. Kau bahkan terlihat tak peduli remuk perasaanku. Kau biarkan aku tenggelam pedih, seolah semua yang kuperjuangkan dan ku korbankan bukan hal yang kau butuhkan. Hingga waktu berlalu; pelan-pelan aku paham satu hal tentang kau. Kau bukan orang yang layak diperjuangkan sepenuh hatiku.
Kau hanya pemain hati yang pandai membakar bara hati tapi tidak bisa memadamkan kobaran ny,
Meski demikian aku tetap berdoa buat kebahagiaanmu, hingga nanti kita di pertemukan dengan perasaan yang sudah terasa asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H