Sudah menginjak tahun ke 5 di sekolah dasar, Ana tak pernah menanyakan perkara, ibu apakah PR ini bisa tidak usah ku kerjakan?
Akan tetapi yang terngiang dikepala Ana, ibu terus saja menanyakan, Ana apakah kamu sudah menyelesaikan PR mu?
Begitulah gambaran masa muda Ana yang selalu ditekankan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas PR yang diberikan guru di sekolah.
Ia mengerjakan PR yang diberikan guru dengan rutin dan kadang-kadang menanyakan pula cara mengerjakannya kepada orang tua di rumah.
Singkat cerita, anak-anak zaman dulu, tidak pernah meragukan keberadaan PR, sebagai tugas tambahan dari guru untuk membuat mereka belajar lagi di rumah atau istilahnya mengulang pelajaran.
Minimal ada 3 hal yang bisa didapatkan ketika anak mengerjakan PR dirumah:
1. Mengulang pelajaran yang telah mereka pelajari di sekolah
2. Tumbuh rasa tanggung jawab, bahwa setiap hal harus dikerjakan tepat waktu tanpa menunda-menunda pengerjaan
3. Lewat PR, anak dan orang tua dapat menjalin komunikasi perihal belajar mereka di sekolah. Contohnya, dengan anak mengerjakan PR, orang tua kadang-kadang harus membantu anak yang kesulitan mengerjakan tugas. Daripada menyalahkan keadaan ketika orang tua tak bisa membantu anak, orang tua bisa mengetahui bahwa ternyata anak-anak mereka butuh bimbingan belajar pada suatu pelajaran, atau malah sebaliknya, dengan anak mengerjakan PR orang tua juga bisa tahu apa pelajaran yang disukai anak. Orang tua bisa mengarahkan anak untuk menjadi lebih rajin dan lebih semangat dalam kegiatan belajar mereka. Setidaknya anak-anak juga akan mendapat motivasi belajar karena merasa diperhatikan  perkembangannya oleh orang tua.
Tapi pada zaman sekarang, anak-anak memiliki zaman yang berbeda dengan zaman dulu yang cukup sederhana. Pemikiran anak zaman dulu yang sudah merasa sangat senang jika bermain dengan kelereng dan karet gelang, sekarang sudah digantikan dengan handphone nan canggih dan berinternet.
Lebih dari setengah anak-anak di kelas 4,5 dan 6 tingkat SD memiliki smartphone genggam. Sepertinya sudah sulit menemukan anak yang hanya tahu kelereng dan karet gelang di kota besar. Apalagi setelah masa pendemi, anak seakan begitu berteman dengan smartphone genggam mereka. Dunia mereka yang terkurung selama 2 tahun, dan yang katanya ditemani belajar dengan smartphone membuat mereka tak anti dengan yang namanya smartphone. Ditambah lagi mencontoh dari penggunaannya dikeluarganya yang begitu dominan, sudah cukup menjadi contoh bagi mereka untuk terus menggunakan smartphone genggam.
Jika sekarang sekolah sudah kembali normal, apakah aktivitas anak belajar juga kembali normal. Tentu tidak semudah itu. Pernyataan yang berbagai macam dari orang tua, kemudian mulai bermunculan. Ada orang tua yang berkomentar anaknya sudah mulai susah dikendalikan sampai anak yang keterusan bermain game online. Anak-anak kemudian juga mempengaruhi teman-teman mereka di sekolah, tanpa mereka sadari menambah lingkungan anti belajar.
Kemudian apa hubungannya dengan PR? PR menjadi hal yang biasa menjemukan bagi mereka. Sudah tidak menjadi tanggungjawab untuk dikerjakan. Mereka lebih senang dengan smartphone genggam mereka yang memberikan berbagai hal. Kemudian keesokannya dengan berdalih lupa, mereka dengan mudah menyelesaikan persoalan.
Perihal orang tua yang menanyakan tugas PR anak di rumah mungkin suatu hal yang juga harus dipertanyakan. Karena kerjasama orang tua dan sekolah juga perlu diselenggarakan demi berjalannya kegiatan belajar mengajar.
Itulah salah satu contoh alasan anak tidak mengerjakan tugas PR mereka di rumah.Â
PR pun menjadi hal yang sia-sia diberikan oleh guru karena akhirnya juga diselesaikan di sekolah juga.
Kemudian bagaimana dengan pengajuan aturan tentang pembebasan PR bagi peserta didik?
Bagi guru, tidak memberikan PR merupakan hal mudah, dan memberikan pengurangan beban tugas bagi mereka, karena tidak perlu mengoreksi PR yang sudah dikerjakan. Tapi, tetap saja PR tidak bisa dihilangkan begitu saja, karena kita tahu setiap keputusan memiliki nilai lebih dan nilai kurang didalamnya.
Kita perlu berpikir matang-matang, karena kita tidak bisa berdalih dengan keadaan dan aktivitas anak yang sudah cukup lama disekolah, sudah cukup waktu mereka belajar. Di luar sekolah anak bisa melakukan kegiatan dan aktivitas yang mereka sukai, karena jika guru memberikan PR, anak tidak memiliki waktu untuk bermain dan mengikuti les-les dalam rangka mengembangkan bakat mereka.
Oleh sebab itu, bagi penulis kemungkinan PR tetap harus diberikan, akan tetapi dengan melihat proporsi, waktu, tujuan belajar, dan materi belajarnya. Tidak semua materi pelajaran harus memberikan PR, dan tidak semua guru harus menugaskan PR kepada peserta didik.Â
Dengan demikian hal, hal-hal yang kita anggap positif dari pemberian PR tetap bisa kita tanamkan, dan tidak lupa tetap dapat memberi ruang lebih untuk anak dalam melakukan aktivitasnya diluar sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H