Namaku nabila. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya susunan tulang yang dibalut seonggok daging, kemudian ditiupkan ruh kedalamnya oleh dzat yang maha menciptakkan. Ya, ruh. Ruh itu membuatku ada, membuatku menagis dan tertawa, tertidur dan terjaga. Aku tak tau wujudnya seperti apa, bahkan ketika pergi meninggalkan jasad pun aku tak tahu kemana dia pergi sesungguhnya. Akhirat, begitu kata mereka. Tapi seperti apa akhirat? Dimana? Bagaimana bisa? Semuanya memang tidak bisa dirasionalkan. Hanya satu yang menyakinkan aku, bahwa semua itu ada yang menciptakan, dan yang menciptakanku tentulah lebih hebat dari apapun, termasuk akhirat yang tak bisa di jangkau mata. Dan itulah yang mendamparkanku disini, di suatu tempat "unik" yang justru memberikan jawaban atas semua pertanyaaanku. Menyejukkan padang gersang dihatiku.
Namaku nabila. Usiaku 19 tahun. Hidupku adalah milikku dan didalam kekeuasaanku. Senang rasanya ketika bisa bernyanyi denga suara yang merdu.padahal siapa pemberi suara itu. Bagaimana kalau dia mengambil karena tidak aku gunakkan untuk memuja-nya. Bangga rasanya melihat wajah cantik, dicermin kamarku. Siapa yang membuatnya begitu. Bagaimana seandainya ia merubahnya? Aku tak kuasa. Bahagia rasanya ketika bisa berbelanja apapun sesuai seleraku. Tapi bagaimana kalau semua itu diambil-nya. Akankah aku masih bisa tertawa dan merasa suka.
Namaku nabila. Sebersit kurasa iri saat temanku bisa menghafal satu juz amma sedangkan aku sibuk berdandan menyambut kedatangan ridwan. Iri saat dia tersenyum tulus menghadapi cobaan, sedangkan aku menangis tergugu karena diduakan ridwan. Iri aku dapati dia khusyuk dalam sujudnya sedangkan aku tertidur lelap di buai mimpi. Iri pada semua yang dia kembalikan pada-nya, sedang aku selalu mempertimbangkan untung ruginya. Aku selalu jauh tertinggal. Dunia memang terlalu indah menawarka pesonanya. Dan aku membiarkan diriku dijeratnya.
Namaku nabila. Aku mencoba mencari hakikat hidup sebenarnya, karena yang kurasakan hanyalah sementara. Hari-hari selalu berganti, pagi bergeser malam, dan sore berganti siang. Selalu bergulir seperti itu. Dan selama itu pula, aku stagnan, tak berubah. Sememtara zaman menuntutku untuk lebih berfikir kedepan, meraih cita-cita, aku justru berkutat dengan hal-hal yang tidak istimewa, biasa saja. Aku ukan tak tahu siapa allah. Aku bukan tak tahu siapa rasulullah, aku pun hafal rukun iman dalam islam. Tapi memaknainya lebih dalam, belum pernah aku lakkukan. Sekedar merenung di akhir hari, tak pernah aku sediakan waktunya. Aku ikuti saja arus omongan orang disekitarku. Omongan artis-artis bahwa beragama tak harus fanatik, bahwa yang penting kita tealah pernah bersyahadat, serta sholat tak terlupakan, bahwa yang paling penting kita jangan sampai ketinggalan zaman.
Namaku nabila. Kucoba urai makna hidup yang kujalani. Kematian. Semuanya akan berpulang kesana, menuju keharibaan pemilik-nya. Selama ini aku telah begitu sombong dengan tidak mengakui-nya. Aku telah sangat angkuh dengan menganggap bahwa hidupku adalah miliku. Aku telah menjaliani hidupku semauku tidak dalam garis-mu. Aku telah menyia-nyiakan nikmat yang kau berikan. Ya robb, tak terhitung jumlahnya. Bahkan setiap nafasku adalah nikmat.
Robb, dengarkan tekadku. Insya allah mulai detik ini tiap denyut nadi akan selalu teriring dzikir kepada-mu. Setiap kedipan mata adalah juga nikmat-mu. Bagaimana mungkin aku bisa berpaling dari-mu, ya allah.
Namaku nabila. Aku ingin mencintai-mu, tunduk dalam aturan-mu, dan taat dalam garis-mu. Berikan ketetapan dihati ini ya illahi, agar hamba yang rapuh ini akan selalu tegar menghadapi apapun yang terjadi. Hingga suatu saat nanti ketika bertemu dengan-mu, hamba punya keberanian menatap wajah-mu.
Namaku nabila. Aku hanya susunan tulang yang berbalut sekerat daging. Kemudian ditiupkan ruh kedalamnya oleh dzat yang maha mencipta. Aku nabila, hamba allah seutunhya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H