"Dan akhirnya tubuhku berdebam melekat ke dasar laut, di antara karang dan rumput laut disaksikan serombongan ikan ikan kecil yang tampaknya iba melihatku. aku menyadari: aku telah mati. Tubuhku akan berada di dasar laut ini se lama[1]lamanya, dan jiwaku telah melayang entah ke mana. Sementara ikan ikan biru, kuning, ungu, jingga mencium pipiku; seekor kuda laut melayanglayang di hadapanku, aku mendengar suara ketukan yang keras. Sebuah ketukan pada sebilah papan kayu..."
        Diatas merupakan sedikit kutipas dari isi buku dengan jumlah sekitar 379 halam yang ditulis oleh Leila S.Chudori, seorang jurnalis sekaligus penulis yang lahir pada 12 Desember tahun 1962. Buku yang diberi judul 'Laut Bercerita' ini diterbitkan pada tahun 2013 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Disampaikan diakhir bukunya Leila telah melakukan riset terkait apa yang ia tuliskan sejak tahun 2013. Maka perjalanan riset kurang lebih empat tahun tersebut membuahkan hasil yang begitu menakjubkan.
        Pada cover buku bagian belakang kita dapat melihat sedikit gambaran tentang apa yang Leila ceritakan dalam bukunya. Berlatar belakang tahun 1991 hingga tahun 2007, buku ini menceritakan tentang sekumpulan aktivis mahasiswa yang melakukan pergerakan untuk menumpaskan kepemimpinan pada masa itu yang telah berkuasa terlalu lama. Menariknya buku ini juga menyajikan sisi dari para keluarga, sahabat serta kekasih yang merasa kehilangan serta ketidak pastian dengan yang terjadi kepada para aktivis mahasiswa tersebut.
        Berawal dari sebuah perkumpulan mahasiwa di Yogyakarta yang diberi nama Winatra pada tahun 1991. Perkumpulan ini terdiri dari Arifin Bramantyo, Kasih Kinanti, Biru Laut, Alex Perazon, Sunu Dyantoro, Daniel, Narendra, Gusti, Dana, Julius, Naratama dan Gala.  Winatra dikomandoi oleh Arifin Bramantyo atau yang akrab dipanggil Bram. Mereka rutin melakukan kajian-kajian serta diskusi terkait tokoh-tokoh revormasi, buku-buku yang dianggap 'terlarang', nasib kaum miskin hingga kecacatan demokrasi serta politik yang ada pada masa orde baru.
        Kepemimpinan orde baru menganggap hal-hal semacam itu sebagai upaya yang membahayakan. Tiga tahun sebelumnya terdengar peristiwa penangkapan tiga aktivis di Yogyakarta yang menimbulkan sedikit kegelisahan dan rasa hati-hati pada para aktivis selanjutnya. Maka Winatra memutuskan untuk pindah kesebuah rumah yang disewa dipojok kecil Yogyakarta. Rumah itu strategis, jauh dari para intel. Namun juga terlihat menakutkan, maka dengan kecerdasan Kinan ia mengajak beberapa seniman Taraka untuk menghiasi dinding-dingding lapuk  didalamnya. Disitulah Laut bertemu Anjani, wanita bertubuh mungil namun tangkas saat melukis. Anjani kelak menjadi penakluk badai pada proses perjalanan aktivisme Laut.
        Leila menuliskan bagaimana pergerakan yang dijalani para aktivis tersebut untuk menemani para petani dan warga miskin menegakan haknya. Tentu saja itu semua tidak berjalan dengan mulus, sempat suatu ketika beberapa diantara mereka ditangkap secara paksa, diintrogasi dengan penyiksaan hingga akhirnya dibebaskan kembali. Setiap bagian yang Leila sajikan dalam kisahnya mampu membawa saya merasa ikut dalam perjalanan Laut dan teman-temannya.
        Winatra telah memperluas gerakannya, hingga beberapa dari mereka harus bersembunyi dari satu kota ke kota lainnya. Hingga suatu malam, Laut dan satu persatu temannya diculik secara paksa. Mereka dibawa kesuatu tempat dan diperlakukan hal yang sama seperti penculikan sebelumnya. Bedannya introgasi kali ini lebih konsisten, lebih mengerikan, dan lebih menyebalkan. Bagaimana para aktivis tersebut ditanyai lalu diestrum, ditanyai lalu dipukul bahkan suatu ketika mereka harus telanjang dan tidur diatas balok es. Itu semua dilakukan agar para aktivis tersebut mengatakan dimana para pemimpin Winatra, Bram dan Kinan.
        Selama perjalanan Winatra, Naratama sering dicurigai sebagai penghianat karena ia yang paling sering bersuara lantang namun dengan gayannya yang dirasa menyebalkan. Pada hari dimana Laut mendapat giliran untuk tidur diatas balok es, disitulah terungkap siapa penghianat Winatra sebenarnya. Untuk mengetahui lebih lanjut siapa penghianat laknat tersebut, saya sarankan teman-teman untuk membaca buku Laut Bercerita.
        Disamping kehidupannya tersebut, setiap anggota Winatra memiliki ceritanya tersendiri. Sunu yang dewasa, Daniel yang manja namun playboy, Alex yang tampan dan hobi memotret dengan begitu filosofis, Tama yang proaktif, Gusti yang hobi memfoto dengan blits, Kinan yang cerdas dan dapat diandalkan, Gala sang penyair, hingga Laut dan segala ceritanya.
        Laut memiliki keluarga yang begitu hangat. Ibunya seorang juru masak yang menjadi kesayangan bersama. Ayahnya seorang jurnalis yang idealis. Dan adiknya, Asmara Jati yang cerdas dan atraktif. Laut dan Asmara seringkali bermain tebak bumbu bersama ibunya. Ketika ibunya masak Laut akan mencicipinya sambil memejamkan mata. Ia akan menyebutkan bumbu apa saja yang terkandung didalamnya lalu menyebutkan bumbu apa saja yang belum dimasukan. Tak jarang laut mengajak teman-temannya untuk berkunjung ke rumahnya di Ciputat dan menyantap pasakan ibunya. Termasuk Alex yang dimana akhrinya membuat Asmara jatuh hati.
        Penyekapan yang terjadi pada para aktivis tersebut ternyata terjadi cukup lama. Hingga akhirnya terbesit kabar bahwa Alex dan Danie telah dipulangkan ketempat asalnya. Namun teman-teman aktivis lainnya masih juga belum ditemukan. Hal itu membuat  keluarga, sahabat serta kekasih korban merasa cukup menderita. Anjani yang penuh energi menjadi Anjani yang lusuh dan kehilangan arah lantaran ketidak pastian kondisi Laut. Sama halnya dengan kedua orangtua Laut, mereka tetap menyediakan empat piring setiap hendak makan, satu piring untuk ayah, satu piring untuk ibu, satu piring untuk Asmara dan  satu piring untuk Laut (yang entah dimana keberadaannya).