Tin...tin...tiin
Seruan kendaraan di malam hari memenuhi indra pendengaranku. Halte Stasiun Jatinegara menjadi salah satu tempat yang membuat perasaanku campur aduk. Waktuku menunggu bus masih sangat lama, namun di sini belum terlihat satu orang yang akan pergi bersamaku.
Dug
Dug
Dug
Dentuman langkah kaki mengalihkan fokusku dari sepasang sepatu yang terlihat lelah ke sepasang suami istri beserta dua anak kecil berjenis kelamin perempuan. Aku memperhatikan mereka dengan seksama sambil menggoyangkan kedua kakiku yang lelah ini.
"Ibu kita bakal pulang kan? Aku cape, tadi seru banget, aku mau ke sana lagi ya, Bu? Yah?" tanya seorang anak kecil perempuan dengan wajah bahagianya.
Namun, belum selesai mendengarkan, fokusku kembali teralih ke seorang bapak yang membawa dagangannya yang aku tebak itu adalah kerupuk. Badannya mengurus seiring berjalannya waktu dan terlihat di bawah matanya ada cekungan hitam yang menggambarkan bahwa dia lelah.
Aku kembali mengalihkan pandanganku ke depan dan melihat beberapa pedagang yang mulai menggelqr dagangannya. Cuaca saat itu sangat mendukung pedagang untuk menjualkan barang mereka ke pembeli di trotoar jalan. Aku melihat ada yang menjual handphone jadul, makanan ringan, minuman botol, kaset musik atau film, baju, boneka, dan lain-lain.
"dek, mau kemana?" tanya seorang ibu dengan wajah lelahnya. Aku melihat dia membawa begitu banyak barang yang bisa membuat punggung sakit. Diam. Aku terdiam sebentar untuk mencerna pertanyaan yang diajukan secara tiba-tiba.
"Ya? Oh, saya mau pulang bu," ucapku sambil tersenyum. Aku berpikir bahwa ibu tersebut tidak bertanya lagi, namun aku salah.
"Dari mana? Kok pulangnya malam? Masih SMP kan?" tanyanya dengan raut penasaran. Wajah lelahnya mengingatkanku kepada seorang Ibu yang sedang membesarkan aku. Pertanyaan itu mampu membuat aku terdiam lebih lama. Rok biru tua dan baju kaos yang aku kenakan ternyata tidak mampu menutupi identitasku.
"Iya, masih SMP, saya abis les, orang tua saya nggak bisa jemput saya, Bu." ucapku dengan tersenyum lagi untuk menyembunyikan wajah lelahku.
"Hati-hati kalau naik bus dek, sekarang banyak banget kasus pemerkosaan dek, pokoknya hati-hati ya." ucap sang Ibu yang bersiap untuk menaiki bus tujuannya.
Ibu tersebut menghilang dari pandanganku sebelum aku berkenalan dengannya. Hati-hati. Nasihat itu selalu diberikan kepadaku setiap mereka bertemu denganku.
Tidak terasa bus tujuanku datang. Ramai. Isi bus itu ramai sekali. Aku tidak tahu kenapa aku dikelilingi oleh laki-laki. Mereka terlihat mendekat kepadaku.
Takut. Aku takut sekali. Kata hati-hati menjadi sebuah kata terpenting di kepalaku saat ini. Aku berdoa kepada Allah untuk meminta pertolongan.
"Dek, maju sini, gapapa, maju aja, mas-mas misi dulu, ini mau lewat," ucap seorang pemuda yang menjadi pentara penolongku malam itu. Wajahku yang pucat menjadi segar kembali dan bisa bernafas dengan teratur.
"Makasih mas, makasih." Lega. Akhirnya aku bisa bebas dari ruangan sempit itu. Aku melihat sekeliling jalanan dari kaca yang telah berembun di dalam bus. Berisiknya malam masih memenuhi indra pendengaranku. Malam itu, aku melihat begitu banyak tulang punggung keluarga yang berusaha untuk hidup di tengah hiruk piruk kota Jakarta ini.
Malam ini juga menjadi panjang karena aku berusaha untuk mengamati segalanya. Hati-hati menjadi kalimat favoritku untuk menaiki angkutan umum. Hati-hati juga menjadi kata penutup dari cerita ini.
PS: cerita ini fiktif belaka. Tidak ada tujuan untuk memojokkan pihak manapun.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H