Kebijakan Kurikulum 2013 yang sentralistik, dikhawatirkan memasung kreativitas guru. Pasalnya, ketentuan pada kurikulum baru tersebut mulai buku ajar, metode pembelajaran, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lainnya ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra (PBS) Universitas Negeri Yogyakarta, Maman Suryaman mengatakan, Implementasi Kurikulum 2013 menyimpan banyak persoalan. Salah satunya, memasung kreativitas guru di mana guru-guru di daerah tinggal memakai literasi yang ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mulai buku ajar, kurikulum dan turunannya semua diturunkan oleh pemerintah pusat.
Padahal, guru tidak boleh literal. Guru harus mampu mengembangkan perangkat kurikulum dan turunannya. Jangan hanya tinggal pakai apa yang diberikan pemerintah. Dengan begitu maka guru tetap menjaga profesionalitasnya. Respon Kebijakan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013 di Auditorium.
Untuk itu, guru didesak untuk mempersiapkan segala kreativitasnya. Sebaliknya, pemerintah hanya membantu guru mengembangkan kreativitas tersebut dan harus melaksanakan Kurikulum 2013 sesuai kehendak pemerintah.
Ingat, tugas guru itu tugas profesional dan guru memiliki kompetensi sendiri. Kalau hanya menggunakan apa yang diberikan pemerintah, maka ia sudah tidak profesional. Akibat implementasi kurikulum ini guru sudah tidak menulis lagi. Ketua Panitia Seminar mengatakan, perlu dilakukan lagi pemahaman implementasi dari kurikulum tersebut. Yang dia sesalkan ialah, pemerintah pusat tidak melibatkan steakholder Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ketika menyusun kurikulum 2013. Dampaknya, guru-guru bahasa Indonesia kesulitan mengimplementasikannya. Mereka juga terbentur oleh sarana dan prasarana yang belum memadai.
Dalam konteks pelajaran bahasa Indonesia misalnya, empat kompetensi dalam pelajaran tersebut tidak dihilangkan. Empat kompetensi itu meliputi membaca, menulis, berbicara, menyimak atau mendengarkan. Adapun ketentuan pelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum tersebut dinilai terlalu global dan muatannya sedikit sehingga perlu dilakukan rekonstruksi ulang.
Bahasa itu kan dinamis, butuh kreativitas guru dalam berkomunikasi. Nah, kalau guru hanya berpedoman pada apa yang diberikan pemerintah pusat, kreativitasnya bagaimana? Padahal sarana dan prasarananya minim. Solusinya inftrastruktur harus dibenahi. Minimal ada 50 buku ajar bahasa Indonesia untuk pembelajaran di sekolah. Guru juga perlu mengenakan sastrawan Indonesia untuk meneguhkan karakter bangsa.
Sementara, Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Sarwijisuwandi mengatakan, pelaksanaan kurikulum 2013 kurang menempatkan guru sebagai variabel penentu. Guru, katanya berada dalam posisi yang tidak dipercayai dan dipandang kurang berdaya. Pengembangan kurikulum terkesan sentralistik.
Tujuan Kurikulum itu dipersepsikan secara terpusat. Ini berbeda dengan peran guru dalam pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Seharusnya guru diposisikan sebagai pembelajar. Hal ini penting karena mereka akan mengoptimalkan kegiatan pembelajaran kalau dilibatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H