Mohon tunggu...
Rahmi tri Cahyani
Rahmi tri Cahyani Mohon Tunggu... -

saya salah satu mahasiswi Stain Sorong, jurusan tarbiyah (PAI).sementara ini masih melakukan kegiatan pengajaran disalah satu TPA Al-Hakim.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Anggap Remeh Dosa

27 Januari 2014   19:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu ketika, karena amat lapar, Abu bakar asd-Shiddiq segera menyambar sekaligus melahap makanan yang dihidangkan oleh pembantunya. Ini, tentu saja, di luar kebiasaan beliau yang selalu berhati-hati terhadap kehalalan makanan. Setelah beberapa suap makanan masuk ke mulut beliau, lalu ke tenggerokondan terus berjalan menuju perut belaiu, beliau tiba-tiba sadar. Beliau bertanya kepada pembantunya. “Dari mana makanan ini?” pembantunya menjawab, “Dulu sebelum masuk Islam, saya biasa mendatangi seorang dukun. Kemarin saya berjumpa dengan dia, lalu dia menghadiahi aku makanan ini”.

Mendengar itu Abu Bakar ash-Shiddig terperanjat. Spontan, beliau lalu memasukkan jari-jemarinya ke tenggorokannya. Beliau berusaha memuntahkan kembali makanan yang baru saja beliau lahap. Seketika, seluruh isi perutnya keluar, tak tersisa lagi sedikit pun (HR al-Bukhari).



Dalam kisahnya yang berbeda, Umar bin al-Khaththabra., melakukan hal yang sama. Beliau berusaha memuntahkan kembali air susu yang terlanjur sudah beliau reguk dan masuk ke perutnya. Itu beliau lakukan setelah tahu bahwa air susu itu dikhawatirkan berasal dari unta sedekah milik Baitul Mal (Negara Khilafah, pen.) (Al-Kandahlawi, Fadha-ilA’mal).

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari dua kisah di atas?Pertama, Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththabra., adalah dua orang sahabat Rasulullah Saw yang dijamin masuk surga. Kekhawatirannya mereka yang amat besar terhadap hal-hal yang syubhat tentu saja mereka cermin ketakwaan dari ahli surga itu. Kedua, Bagi sebagian kita, memakan makanan yang syubhat –meski zatnya halal-mungkin bukan perkara besar. Namun, bagi kedua orang sahabat Nabi Muhammad Saw., yang mulia ini, perkara-perkara syubhat sekali pun-yang belum tentu mutlak haram-sudah dianggap masalah besar. Ini karena mereka amat paham, hal-hal yang syubhat amat denkat dengan keharaman, sebelum benar-benar terbukti kehalalannya. Mereka pun amat paham, makanan haram, meski hanya sesuap, akan menjadi bahan bakar api neraka yang bisa membakar perut dan tubuhnya di akhirat nanti.

Sayangnya, perkara-perkara syubhat , bahkan haram, khususnya menyangkut bagaimana memperoleh ‘sesuap makanan’, justru tak banyak dipahami oleh kaum Muslim. Dalam hal muamalah, misalnya, kalaupun sebagian perkara haram itu sudah dipahami dan mungkin ditinggalkan (misalnya: riba), sebagian besar muamalah yang lain masih banyak tidak dipahami sehingga masih banyak dilakukan. Seolah-olah, dosa muamalah hanyalah riba. Padahal selain riba yang notabene merupakan dosa besar. Banyak muamalah keseharian umat ini yang syubhat bahkan haram. Masalahnya, banyak muamalah saat ini, baik terikat jual-beli, usaha jasa, sewa-menyewa, ataupun kemitraan bisnis. Justru dianggap biasa oleh kaum Muslim.

Padahal kebanyakan muamalah tersebut didasarkan pada akad-akad atau transaksi yang fasad, bahkan batil. Ini karena kebanyakan muamalah tersebut sering didasarkan pada prinsip atau aturan yang tidak berasal dari ajaran Islam, tetapi semata-mata berasal dari prinsip dan aturan manusia yang berasal dari ideologi kapitalisme atau akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Muamalah seperti perbankan ribawi, asuransi, koperasi, perseroan dan bursa saham, kredit konvensional yang melibatkan lembaga Leasing, kemitraan bisnis kapitalis, dll adalah di antara muamalah yang bathil, yang sayangnya justru banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu, bentuk-bentuk muamalah yang batil ini haram/dosa. Tentu pula, dosa hanya akan memasukkan pelakunya ke dalam azab neraka yang menyala-nyala.

Selain itu, meski berbagai bentuk muamalah tersebut mungkin mendatangkan banyak keuntungan kepada sebagian orang, bahkan bisa menghasilkan kekayaan yang berlimpah, yaknilah kekayaan itu tak akan mendatangkan keberkahan dan kebahagiaan. Sebagaimana kata imam an-Nawawial-Bantani dalam kitabnya, Nashhaihal-‘Ibad, keberkahan dan kebahagiaan (al-‘afiyat) di dunia salah satunya hanya akan bisa diraih melalui harta yang diperoleh dengan cara-cara yang halal. Sebaliknya kesempitan dan kebahagiaan hidup meski di tengah keberlimpahan tersebut diperoleh dengan cara-cara yang haram.

Oleh karena itu, janganlah pernah kita menganggap remeh dosa karena kita memandang enteng kita ke neraka. Jamgan pernah kita memandang enteng perkara syubhat karena itu bisa menjerumuskan kita pada perkara yang haram. Jangan pernah pula kita menilai sepele perkara yang haram karena itu bisa mengantarkan kita ke neraka Jahanam. Na’udzubillah min dzalik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun