"Ada obat ini, Mbak?", tanya seorang pembeli yang datang ke apotek seraya menunjukkan layar gawainya yang memuat foto obat Deksametason.
Selama masa pandemi beberapa pembeli datang ke apotek menanyakan obat yang sama. Mereka mendapatkan informasi seputar kegunaan obat tersebut dari internet, termasuk berbagai media sosial.
Duh, ini adalah efek dari pemberitaan di berbagai media tentang Deksametason yang dianggap sebagai obat untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit akibat virus Corona.
Sebelum Deksametason, beberapa waktu sebelumnya juga terjadi hal serupa. Masyarakat mencari Klorokuin, obat yang biasa digunakan sebagai anti malaria.Â
Efek samping penggunaan obat ini dapat menimbulkan kebutaan akibat pendarahan di sekitar retina mata. Belum lagi detak jantung yang tiba-tiba tidak teratur. Semua ini dapat menyebabkan kematian. Mengerikan bukan?
Baik Deksametason mau pun Klorokuin adalah kelompok obat dengan logo huruf K. Artinya obat ini masuk dalam golongan obat keras yang untuk mendapatkannya harus dengan resep dokter dan tentu saja sesuai dengan diagnosa.
Namun, justru obat-obat ini banyak diburu masyarakat. Mereka datang ke apotek untuk membeli lalu mengkonsumsinya untuk mencegah virus Corona. Bahkan ada teman yang melakukan itu, karena berdasarkan informasi yang dibacanya, obat-obat ini mampu mencegah masuknya virus Corona ke dalam tubuh.
Di Indonesia, hal seperti ini menjadi wewenang dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jadi kita harus hati-hati dengan banyaknya klaim dan berita bombastis yang menyatakan suatu obat memiliki kegunaan sebagai obat anti Corona.
Lalu, bagaimana dengan obat herbal?Â
Hal ini pun berlaku untuk obat tradisional atau obat herbal. Klaim yang berlebihan terhadap obat herbal pun kita jumpai di masa pandemi ini. Perburuan terhadap suatu obat herbal terjadi.Â