Mohon tunggu...
Uut Utami
Uut Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tax with Trust, Pajak Bukan Beban tapi Kebanggaan

14 November 2024   04:05 Diperbarui: 14 November 2024   07:46 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa sebagian masyarakat dengan senang hati memenuhi kewajiban pajak, sementara yang lain hanya taat saat ada ancaman sanksi? Pertanyaan ini menggambarkan tantangan besar dalam menciptakan kepatuhan pajak di Indonesia. Untuk membangun komitmen Wajib Pajak yang sukarela, pemerintah harus menerapkan lebih dari sekadar enforcement melainkan dorongan persepsi positif masyarakat terhadap pajak. Semakin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap pajak, semakin rendah kebutuhan akan enforcement yang ketat. Dalam situasi ini, teori Slippery slope oleh Erich Kirchler dkk. menggarisbawahi pentingnya trust dibandingkan paksaan untuk membangun kepatuhan sukarela. Di sisi lain, penelitian James Alm menekankan bahwa trust serta persepsi positif terhadap nilai dari barang publik sangat berperan dalam keputusan masyarakat untuk membayar pajak.

Memahami bagaimana masyarakat dapat patuh tanpa merasa diawasi adalah inti dari teori Slippery slope oleh Kirchler dkk. Menurut teori ini, terdapat dua pendekatan dalam mencapai kepatuhan pajak yaitu enforced compliance (paksaan) dan voluntary compliance (kesukarelaan). Enforced compliance bertumpu pada kekuatan otoritas melalui pengawasan ketat dan sanksi, sedangkan voluntary compliance bersandar pada kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak. Namun, enforcement yang berlebihan justru dapat menurunkan trust dan menciptakan efek "slippery slope" yang melemahkan kepatuhan sukarela. Sebaliknya, dengan meningkatnya trust, masyarakat akan lebih memilih untuk patuh tanpa pengawasan ketat.

James Alm, dalam penelitiannya, menyoroti bahwa ketakutan akan sanksi bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong kepatuhan pajak. Menurut Alm, masyarakat cenderung patuh ketika melihat pajak sebagai kontribusi terhadap barang publik yang dinikmati bersama. Di Indonesia, pemahaman ini sudah ada pada sebagian masyarakat yang membayar pajak bukan karena takut akan sanksi, melainkan karena melihat bahwa pajak digunakan untuk membiayai fasilitas umum. Kepercayaan terhadap otoritas pajak dan transparansi dalam pengelolaan pajak memainkan peran penting dalam membentuk persepsi ini. Dengan mengubah istilah “pajak” menjadi “kontribusi pembangunan” atau “kontribusi untuk masa depan,” pemerintah dapat menciptakan persepsi yang lebih positif terhadap pajak, membentuk rasa keterlibatan dalam pembangunan, dan mendorong kepatuhan sukarela.

Untuk mendukung teori Kirchler dan Alm, sejumlah inovasi yang berhasil diterapkan di negara lain bisa menjadi solusi bagi Indonesia untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu inovasi menarik adalah sistem undian pajak atau Tax Lottery yang telah diterapkan di Portugal dan Italia. Setiap Wajib Pajak yang membayar pajak tepat waktu akan secara otomatis diikutsertakan dalam undian dengan hadiah menarik, seperti uang tunai, kendaraan, atau bahkan paket liburan. Dengan cara ini, Wajib Pajak tidak hanya termotivasi untuk patuh karena kewajiban, tetapi juga memiliki insentif tambahan yang menarik. Dalam konteks teori Slippery slope, pendekatan ini memperkuat trust karena memberikan manfaat nyata bagi Wajib Pajak yang patuh dengan cara mengubah pengalaman membayar pajak menjadi sesuatu yang dinantikan. Namun, kendala dalam penerapan inovasi ini di Indonesia adalah persepsi negatif terhadap “undian” yang masih kerap dianggap spekulatif karena dikaitkan dengan perjudian oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi yang efektif diperlukan untuk menunjukkan bahwa Tax Lottery adalah program penghargaan, bukan sekadar “untung-untungan.” Inovasi ini perlu dikemas dengan baik melalui agar diterima secara positif oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia.

Selain undian pajak, inovasi lain yang bisa diterapkan di Indonesia adalah Poin Reward untuk Kepatuhan Pajak. Di Jepang, sistem poin reward digunakan untuk mendorong transaksi non-tunai. Konsep serupa bisa diterapkan untuk kepatuhan pajak. Wajib Pajak yang patuh dapat diberi poin setiap kali membayar pajak tepat waktu dan poin ini bisa ditukar dengan berbagai manfaat seperti pengurangan biaya administrasi atau potongan harga pada layanan publik. Dengan memberikan penghargaan langsung kepada Wajib Pajak yang taat, trust dan engagement akan meningkat. Di Indonesia, implementasi program ini menghadapi kendala pada infrastruktur teknis dan administrasi. Indonesia perlu memastikan adanya sistem manajemen poin yang transparan dan mudah diakses di seluruh wilayah. Selain itu, penyusunan insentif juga harus mempertimbangkan preferensi setiap daerah karena terdapat perbedaan kebutuhan dan akses terhadap layanan publik. Penyesuaian insentif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan menjadi langkah penting agar program ini dapat diterima dengan baik.

Untuk memperkuat kepercayaan masyarakat, transparansi juga bisa didorong melalui Tax Transparency Dashboard. Estonia telah berhasil menerapkan State Budget Transparency Dashboard yang memungkinkan masyarakat untuk memantau realisasi penggunaan anggaran negara secara detail. Sistem ini memfasilitasi Wajib Pajak untuk melihat alokasi pajak dalam proyek-proyek publik sehingga menciptakan kepercayaan bahwa pajak benar-benar digunakan secara akuntabel. Dengan adanya dashboard penggunaan anggaran yang transparan, Wajib Pajak dapat melihat hasil dari kontribusi pajak yang dibayarkan dalam pembangunan sehingga pada akhirnya terbentuk trust pada pemerintah dan mengurangi resistensi terhadap kewajiban pajak. Transparansi ini juga mendukung konsep voluntary compliance dalam teori Slippery slope karena Wajib Pajak dapat melihat manfaat langsung dari kontribusi pembayaran pajak dan merasa lebih terlibat dalam pembangunan nasional. Penerapan sistem ini menghadapi tantangan teknis dan operasional yang cukup besar terutama dalam hal integrasi data di seluruh tingkatan pemerintahan. Indonesia memiliki kompleksitas birokrasi yang lebih besar dibandingkan Estonia. Untuk mengatasi kendala tersebut, pemerintah dapat mempertimbangkan integrasi bertahap mulai dari daerah perkotaan yang lebih siap secara infrastruktur sebelum diperluas ke seluruh wilayah.

Kepatuhan tidak lahir dari paksaan, tetapi dari kepercayaan dan keterlibatan yang mendalam. Untuk mencapai kepatuhan pajak yang berkelanjutan di Indonesia, trust harus menjadi dasar utama. Dengan mengadopsi inovasi-inovasi dari negara lain, pemerintah Indonesia dapat membangun sistem perpajakan yang berorientasi pada trust dan partisipasi aktif. Undian pajak, sistem poin reward, dan transparansi real-time melalui dashboard merupakan langkah-langkah konkret yang mendorong trust tanpa perlu menambah enforcement secara berlebihan. Inovasi ini tidak hanya selaras dengan teori Slippery slope dan pandangan James Alm, tetapi juga membangun lingkungan di mana kepatuhan pajak menjadi kebanggan dan membentuk partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun