Semarang - Mahasiswa KKN UIN Walisongo menjadi pelopor moderasi beragama. Dalam rangka memeriahkan Hari Santri Nasional 2021, KKN RDR Ke-77 Kelompok 9, 10, dan 11 berkolaborasi adakan webinar nasional dan bedah buku bertajuk 'Potret Moderasi Pesantren - Refleksi Hari Santri Memaknai Nasionalisme Dalam Bingkai Moderasi Beragama' (Selasa, 25/10/21).
Webinar ini sukses menarik ratusan peserta untuk berpartisipasi secara blanded melalui paltform Zoom Conference serta peserta yang hadir secara langsung di Aula Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang.
 Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh hebat terkait moderasi beragama, diantaranya yaitu Prof. Dr. KH. ImamTaufiq, M.Ag., M. Badruzaman, S.Ag., Lutfi Rahman S.Th.I, M.A., Pendeta Aryanto Nugroho, serta Makmun Abha selaku Dosen Pembimbing Lapangan KKN.
Prof. Dr. KH. ImamTaufiq, M.Ag. yang berperan sebagai keynote speaker dalam webinar kali ini mengatakan bahwa 'beragama' dan 'keberagaman' di Indonesia tidak dapat dipisahkan. "Indonesia sejak dulu memiliki profile yang sudah terbiasa hidup secara moderat ditengah keberagaman yang dimilikinya. Profile tersebut dapat kita lihat dalam wujud Pesantren", tutur Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang tersebut.
Pernyataan diatas dibenarkan oleh M. Badruzzaman, S.Ag yang merupakan penulis buku 'Potret Moderasi Pesantren'. Dalam bukunya, Baruzzaman mengungkapkan bahwa Pesantren mengemban amanah moderasi beragama di negeri yang memiliki masyarakat dengan beragam agama, yaitu Indonesia.Â
Tradisi pesantren, lokalitas serta latar belakang akademik di Pesantren menjadi poin-poin penting yang mempengaruhi moderasi ala Pesantren.
Selanjutnya, potret moderasi beragama dikaji dengan nuansa berbeda dari segi perspektif Islam oleh Lutfi Rahman, S.Th.I, M.A. dan perspektif nasrani unitarian oleh Pendeta Arya Nugroho.
Sebagai pembedah buku, Lutfi Rahman S.Th.I, M.A., yang merupakan Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Walisongo menyatakan bahwa para santri bergerak dalam hal moderasi beragama itu sangat dibutuhkan.Â
Hal utama yang harus diperhatikan dan ditingkatkan oleh santri untuk menghidupkan moderasi beragama yaitu literasi media. "Pemahaman terhadap ilmu haruslah di tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, demi menghindari kesalahan pemaknaan.Â
Jangan mutahamil atau ngawur ketika mengambil ilmu dari internet, ataupun sosial media", tegas Luthfi, lulusan dari Hartford Seminary, Amerika Serikat.
Moderat beragama bukan berarti kita ikut campur dengan agama lain, tetapi kita hanya sekedar memahami perbedaan yang dimilikinya. Indonesia dapat dikatakan sebagai laboratorium yang paling efektif untuk berdialog tentang toleransi. Karena keberagaman di negeri ini mampu bersandingan tanpa menjatuhkan satu sama lain, atau yang lebih dikenal dengan falsafah Pancasila.
"Toleransi yang kita pegang tidak perlu mengubah identitas kita, hanya saja, ketika seseorang sudah mengobrak-abrik rumah kita berarti ia sudah melewati batas toleransinya", tutur Aryanto Nugroho.
Sementara itu, Pendeta Aryanto yang merupakan Ketua Gereja JAGI (Jemaat Allah Global Indonesia) menjelaskan bahwa ada tiga pendekatan yang harus diambil dalam memahami moderasi beragama, diantaranya yaitu memahami bahasa, tafsir, dan kemanusiaan. Di penghujung acara, beliau menyampaikan, "saya bersyukur bisa bertemu santri di Hari Santri. Semoga kita bersama bisa mewujudkan Indonesia jaya".
(Binti Farida/ed Rahma/kel.10)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H