n
Perdebatan soal subjektivitas dan identitas menjadi isu yang paling hangat dalam kajian budaya [1] melalui hal ini, menjadi terobosan baru untuk mempertanyakan lagi mengenai subjek (diri) yang dianggap  telah mapan oleh warisan Cartesian.Â
Sebagaimana dalam proses reduksionis Cartesian yang telah mengukuhkan subjek sebagai ukuran dari segala sesuatu, yang menjadi karakteristik model pemikiran di abad modern [2]. Nyatanya,  hal itu tidak menjadi mutlak dalam perkembangan pemikiran selanjutnya. Subjek yang diunggulkan, ternyata menjadi bahan perdebatan dikalangan pengkaji filsafat dan bahasa yang berimplikasi  pada kajian psikologi.
Perdebatan tersebut menjadi ranah ciri khas dalam kajian budaya, sebagai konsep subjek dan identitas menjadi perebutan wacana feminisme dan sebagian yang lain dalam filsafat dan bahasa. Perebutan wacana tersebut, sebagai  upaya kembali untuk melihat apakah subjek dan identitas merupakan produk kebudayaan yang menjadi esensial bagi diri, atau kah hanya sebagai produk budaya yang non-esensialis.
Dari perdebatan tersebut, ternyata berimplikasi pada perdebatan sex/jenis kelamin dan gender dipertanyakan ulang. Apakah jenis kelamin sebagai subjek laki-laki dan perempuan merupakan hal yang esensial, sebab dari subjek jenis kelamin tersebut yang merupakan konsekuensi  identitas laki-laki dan perempuan sehingga kita mengatakan ada perbedaan diantara keduanya. Mengenai hal ini, munculah anggapan bahwa jenis kelamin merupakan yang esensial bagi laki-laki dan perempuan, dan itu bukan lah hasil dari konstruksi sosial. Sementara mengenai gender, merupakan produk konstruksi sosial.
Dilain sisi, respons yang diberikan adalah bahwa, jenis kelamin merupakan konsturksi sosial, ia bukanlah yang inheren atau esensial bagi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin merupakan produk kultural yang sama dengan gender, yakni konstruksi. Ini lah yang menjadi perdebatan kembali dalam studi kajian budaya. Upaya kembali untuk melihat subjek dan identitas, dan tanpa ketinggalan menarik kajian psikologi dalam pergumulan perdebatan itu dalam kajian budaya. Â Psikologi sebagai salah satu analisis mereka terhadap perilaku subjek jenis kelamin laki-laki dan perempuan, termaksud implikasinya terhadap gender.
Memang subjek dan indentitas sangat terkait dan hampir tidak bisa dipisahkan, meski keduanya tidak bisa dipisahkan namun, perbedaan itu bisa dipahami dalam wilayah pengetahuan manusia. subjek merujuk pada kondisi keberadaan seseorang, sebagai subjek yang kita alami dan demikianlah kita dibentuk menjadi subjek [4]. Sebagai seorang agen subjek, kita patuh pada proses-proses sosial  yang menjadi "subjek bagi" diri kita maupun orang lain. Oleh karena itu, konsep yang kita pengang bagi diri kita bisa disebut identitas diri, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk indentitas sosial kita [5].
A.I. Subjek, Identitas Antara Pasti Dan Tidak Pasti
Subjek dan identitas dipahami merupakan produk budaya yang bersifat tidak pasti, ketidakpastian tersebut tentu dilandasi dengan konstruksi sosial-kultural dimana individu dan masyarakat itu bertempat tinggal. Barker berpendapat bahwa arti menjadi seseorang "sepenuhnya" bersifat sosial dan kultural. Kerenanya, identitas sepenuhnya merupakan produk sosial dan tidak dapat mengada [exist) diluar representasi kultural dan akulturasi [6]. Dengan begitu, produk budaya yang merupakan unsur yang paling utama dalam membentuk subjek dan identitas. Sehingga sepenuhnya diri kita adalah sesuatu yang terberi oleh produk sosial-kultural.
Ini yang kemudian membangkitkan perdebatan antara esensialis dan antiesensialis perihal subjektivitas dan identitas[7]. Dalam perdebatan tersebut, gagasan yang mengkalim identitas sebagai hal yang inti pada diri dan bersifat universal dan kekal yang dimiliki oleh diri kita. Gagasan ini, merupakan pengakuan esensial indentitas diri kita oleh kuam esensialisme. "Esensialisme seperti ini beranggapan bahwa gambaran-gambaran perihal diri kita mencerminkan identitas mendasar yang esensial. Esensialisme berarti ada esensi tetap dari feminitas, maskulinitas, orang asia, remaja, dan semua kategori sosial lain", tutur Barker. [8].
Esensialisme mengindikasikan bahwa subjektivitas dan identitas merupakan hal yang nyata dan mutlak bagi diri kita. Sehingga identitas lah yang kemudian menjadi ciri khas suatu budaya, individu, jenis kelamin, dan bangsa yang memiliki perbedaan dan keberagaman. Namun, gugatan tersebut muncul oleh kaum antiesensialisme, dengan gagasan yang jauh berbeda dan sangat bertentangan dengan esensialisme. Mereka, antiesensialisme menggugat klaim esensialisme di atas, mengenai subjektivitas dan identitas yang merupakan hal yang inti dan kekal bagi diri kita. Sebaliknya mereka antiesensialisme, berpendapat bahwa indentitas merupakan bentukan dari kultural.
Artinya, identitas bukanlah hal yang inti, nyata, dan kekal. Identitas merupakan produk kultural yang dimana kita menetap. Sehingga indentitas merupakan hal yang tidak pasti, bisa berubah-ubah dan bahkan bertukar. Artinya, identitas tidak mutlak, kekal dan bukan esensi bagi diri kita. Barker menyatakan:[9] "Bahwa indntitas bersifat sepenuhnya kultural, khas masing-masing zaman dan tempat. Hal ini berarti bentuk-bentuk identitas bisa ditukar-tukar dan terkait dengan keadaan (kongjungtur) sosial dan kultural tertentu".
Hal tersebut, menandakan bahwa indentitas bersifat elastis  dan lentur yang diproduksi oleh sosial-kultural yang ada. Sehingga kelenturan tersebut, menandai identitas bukanlah yang melekat secara esensial pada diri kita, sehingga tidak bersifat mutlak. Konsekuensinya, identitas tidak bisa ditentutakan dan bersifat relatif pada sebjek/individu dan sosial. Antiesensialisme berpaham bahwa, kata indentitas tidak mengacu pada kualitas esensial maupun universal, sebab "bahasa menciptakan" bukan "menemukan" [10]. Oleh karena itu, produk kultural yang menciptakan identitas melalui medium bahasa kultural di setiap tempat. Sehingga, bahasa yang menciptakan identitas.
Dalam pengertian yang lebih jauh, antiensialisme mengatakan bahwa identitas bukanlah suatu benda, melainkan gambaran dalam bahasa. Identitas adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna seturut waktu, tempat, dan pengguna [11]. Artinya, Â bahasa yang menciptakan gambaran itu dalam pemaknaan kultural wacana. makan dan bahasa yang tidak tetap dalam kultural, sehingga dapat berubah seiring waktu dan tempat dimana makna dan bahasa bisa merubah indentitas.
Pandangan Shotter [12] menyatakan bahwa, bahasa bukanlah cermin yang memantulkan dunia objek yang independen (kenyataan), melainkan sumber yang "memberi bentuk" pada kita dan dunia kita melalui arus percakapan dan praktik sehari-hari dan tak pasti dan kacau. Dari medium bahasa, tidak mencerminkan dunia (realitas) sehingga indentitas tidak menentu dan pasti. Bahasa tidak mencerminkan apa yang menjadi objek pembicaraan pada dunia realitas, namun bahasa memberikan bentuknya sendiri melalui percakapan kita sehari-hari.
Dalam penekanannya, Â bahwa bahasa tidak mengacu pada yang esensial karena bahasa bukanlah acuan yang memberikan kita pengetahuan mengenai dunia kenyataan. Oleh karena itu, klaim identitas sebagai yang esensial pada diri kita bukanlah suatu kenyataan. Identitas tidak lah pasti, kekal melainkan produk kultural-bahasa dari percakapan budaya. Barker menyatakan [13] "Gagasan bahwa identitas merupakan ciptaan wacana didasari oleh pandangan tentang bahasa yang mengatakan bahwa tidak ada esensi yang diacu oleh bahasa dan oleh karena itu tidak ada identitas yang bersifat esesnsial". Dengan demikian representasi tidak menggambarkan dunia tetapi menyusun dunia untuk kita.
Oleh karena itu, bahasa menciptakan aku sebagai representasi. Aku yang diciptakan bahasa melalui representasi dalam bentuk susunan, aku yang digambarkan oleh bahasa sehingga aku menjadi eksis (ada). Dalam eksistensi sebagai aku, digambarkan oleh bahasa -bahasa kultural sehingga aku mengada karena bahasa dan bukan lagi sebagaimana digtum yang terkenal "aku berpikir karena itu aku ada" menjadi runtuh oleh representasi bahasa. Ini lah yang mengindikasikan bahwa subjektivitas dan identitas menjadi tidak dimiliki sepenuhnya, dalam pengertian nonesensial.
"Orang tidak dapat memiliki identitas. Lebih tepat dikatakan jika orang disusun melalui bahasa sebagai rangkaian-rangkaian wacana. Bahasa tidak mengekspresikan diri sejati yang telah ada, tetapi membuat diri mengada", tutur Batler [14]. Pendapat ini sangat membedakan dari pandangan esensialisme yang mengukuhkan subjektivitas dan identitas sebagai sesuatu  yang kekal dan esensi bagi diri kita. Hall  mengatakan [15] versi esensialis menganggap identitas sebagai sebagai nama untuk sekumpulan "diri sejati seseorang" dan identitas dibayangkan  terbentuk oleh sejarah, leluhur, dan seperangkat sumber-sumber simbolis yang sama.
Jadi dilihat dari penjelasan Hall, proses identitas dibentuk oleh sejarah yang kemudian menjadi warisan dari identitas setelahnya melalui simbol. Sehingga identitas suatu budaya, ras dan yang lainnya  dalam individu dan masyarakat menjadi beragam ciri khasnya. Tampaknya Foucault [16] mempengaruhi pemikiran antiesensialisme terhadap pembentukan subjek oleh bahasa. Dalam genealogi kekuasaan yang digagas oleh Foucault mengenai pembetukan kekuasaan melalui reproduksi wacana. Baginya, subjek diri dibentuk oleh wacana, baik dalam sikap praktik maupun pemikiran. Tidak ada subjek dan kekuasaan yang diluar dari wacana.
B.II. Aspek Biologis dan Psikologi Perempuan
Dalam perdebatan antiesensialisme dan esensialisme yang telah kita bahas di bagian sebelumnya tentang subjektivitas dan identitas, yang berkonsekuensi mengarah kepada perkembangan studi biologis dan psikologis mengenai jenis kelamin/seks dan gender. Muncul adagium yang memperdebatkan aspek biologis/tubuh perempuan yang merupakan produk wacana/bahasa yang tidak memliki indentitas yang pasti, yang diciptakan oleh produk kultural. Hal yang sama dengan psikologi perempuan, karakter sifat dan kecenderungan-kecenderungannya, merupakan produk kultural. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan konstruksi bahasa kultural.
"Dan lagi secara prinsip kita tidak bisa mengakses kebenaran biologis tanpa melalui wacana kultural. Semua pengetahuan biologi dan kepentingan bersama, pastilah terbentuk di dalam bahasa dan tunduk pada sumber-sumber wacana. tidak ada biologi yang bukan merupakan konstruksi klasifikasi yang bersifat kultural dan sosial". Tandas Barker [17. Ini membuktikan bahwa keberagaman perempuan dalam berbagai, ras, entitas, suku dan waran kulit serta kepentingan di negera yang berkembang dan maju memiliki muatan yang berbeda. Sehingga pola tersebut dibentuk oleh wacana dan bahasa kultural-sosial pada wilayah masing-masing.
Sehingga pembentukan biologis/tubuh tidak bisa dilepaskan oleh wacana yang ada, sebab pembentukan tubuh biologis sangat bergantung pada wacana yang membentuknya. Singkatnya, determinisme tubuh, cara mengetahui dan bertindak atas dasar wacana yang menguasainya. Sehingga Butler [18] mengatakan bahwa, jenis kelamin adalah konstruksi ideal yang dipaksakan mewujud seiring waktu. Ia bukanlah fakta gamblang atau kondisi statis tubuh, tetapi proses dimana norma-norma pengatur mewujudkan 'jenis kelamin' dan mencapai perwujudan itu melalui pengulangan paksa norma-norma tersebut.
Oleh karena itu, dari paparan Bautler terhadap jenis kelamin yang direproduksi oleh wacana kultural dalam pembentukannya merupakan proses yang muncul akibat pemaksaan norma-norma yang ada dalam konstruksi sosial. Jadi sifat dan karakteristik tubuh perempuan dan psikologinya merupakan unsur-unsur wacana yang dipaksakan oleh aturan-aturan kultural. Jadi adakah yang otentik pada diri (subjek) dan gender dalam pandangan Bautler? Tentunya tidak, baik itu subjektivitas, identitas dan gender dalam laki-laki maupun perempuan tidak memiliki otentisitas pada dirinya dan relasi gender. Sebab semuanya dibentuk oleh produksi wacana kultural.
Pandnagan terhadap psikologis juga dipengaruhi oleh pasikoanalisis Lacanian. Naman, dampaknya  dalam analisis tersebut, mengarahkan aktor yang dibicarakan yakni, perempuan menjadi  subjek yang pasif. Sehingga perempuan dilihat sebagai subjek yang diam, membiarkan dirinya ditafsirkan secara psikologis. Dan mengarahkan aktor laki-laki sebagai yang maskulin dengan kecenderungan sifat menguasai. Itu diterangkan dalam analisis terhadap perbedan seksualitas oleh Laura Mulvey [19], ia melakukan studi tentang sinematik terorganisasi yang dipengaruhi oleh Lacanian.  Prosedur sinematik terorganisir layaknya bahasa berdasarkan kode-kode dan ketentuan patrialkal, dimana maskulin 'dikuatkan' melalui tindakan melihat, sedangkan feminitas dilemahkan dengan menjadi objek pasif yang dilihat.
Dalam penggambaran Mulvey, terdapat relasi kuasa terhadap simbolik dan patrialkal untuk menyasar alam bawa sadar yang dipinjam oleh metode psikoanalisis. Sophia Pocha menuturkan [20] "Esai yang ditulis Mulvey sangat penting karena menawarkan sebuah kerangka analitik yang mengungkapkan hubungan-hubungan kekuasaan dalam gambaran patriarkal. Psikoanalisis menyediakan sebuah metode yang jelas untuk menganalisis bahasa di alam bawah sadar". Persoalannya dalam studi ini, Mulvey menggunakan cara pandangan hanya sebagai maskulin. Bukan keduanya, artinya metode tersebut dilihat dari kacamata maskulin bagaimana ia sebagai subjek dan feminin sebagai objek (pasif).
Sehingga ada kecenderungan bias dalam cara ini dengan memusatkan satu sisi pandangan hanya kepada maskulinitas, sehingga tampak bahwa secara psikologis perempuan terlihat objek yang pasif  dan lemah. Oleh karena itu, kehidupan perempuan dilihat dari secara psikologis cenderung lemah, tak berdaya. Metode psikoanalis memang tampak melihat perempuan sebagai yang bias, dalam ungkapan Ester [21]"Kalaupun teori psikologi didasarkan pada kehidupan perempuan, sampelnya selalu perempuan menderita neurotik".
Dalam psikoanalis Lacanian, kedua gender bisa dilihat posisi sebagai maskulin. Alasannya kedua gender laki-laki dan perempuan tidak memiliki phallus. Phallus dalam pengertian Lacan [22]  merupakan penanda kekurangan dan bukan sebagai organ tubuh. Namun berbeda dengan hasil penelitian psikologis oleh Edwar Clarke [22]  yang menghasilkan penelitiannya tentang  ketidakmampuan anak perempuan dalam belajar, malahan menyuruhnya untuk lebih banyak beristirahat. Pasalnya, ia beranggapan bahwa hal tersebut akan membahayakan fungsi otaknya jika melakukan tugas-tugas sekolah. Ini karena sistem reproduksi perempuan yang lebih rumit.
Tampak jelas kecenderungan untuk melihat perempuan sebagai objek yang pasif dan determinisme biologis dalam hal menentukan pilihannya dan sikap praktisnya. Lebih dari itu, melihat indentitas jenis kelamin pun telah menjadi konstruksi bahasa dan sosial budaya yang tidak memiliki kepastian, yang berkonsekuensi sulit untuk menetapkan keadilan pada perempuan dalam relasi gender. Seperti yang ungkapkan  oleh Butler terdahulu bahwa indentitas performatif pada diri jenis kelamin bisa diubah, dan sikap yang kita tangkap pada jenis kelamin itu dikarena terus mengalami performatif.
Yang lebih nyata lagi ketika Freud mengambil kesimpulan yang semena-mena terhadap kasus pasiennya yang bernama Dora [23]. Ia memaksakan kehendaknya dan tafsirannya secara kesan tanpa melakukan studi yang mendalam. Secara terapi psikologis, Freud menuduh Dora cemburu terhadap paca baru ayahnya, sehingga seolah-olah yang diterapi itu adalah ayahnya. Sebab Freud mengukuhkan Dora sebagai objek dan ayahnya sebagai subjek yang diwakili olehnya. Tafsiran Freud seakan memojokkan Dora yang tak terima kekasih ayahnya, dan lebih tidak menyenangkan lagi ketika Dora tidak hadari dalam beberapa bulan untuk mengikuti terapinya Freud. Dan ternyata, Freud menafsirkan hal tersebut sebagai negatif.
Dora [24]dinyatakan oleh Freud sebagai ingin membalas dendam terhadap semua laki-laki dengan asumsi menolak Freud dan ia juga menganggap Dora mengalami keterkaitan terhadap sesama jenis, yaitu kekasih ayahnya. Asumsi-asumsi psikoanalis lebih menekankan perempuan sebagai sumber masalah terhadap relasi gender dengan hasil yang mereka temukan dalam penelitianya yang cenderung mengambil posisi sebagai sumber otoritatif, yang mengarahkan perempuan sebagai objek yang bisa dijelaskan sesuka hati mereka.
Catatan psikologi :
1, dalam perdebatan ini terlihat bahwa masih menjadi keraguan apakah identitas dan subketivitas merupakan hal yang esensisal atau tidak. Lihat Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarata, Bentang Pustaka, 2005), hlm. 217-218.
2. Cartesian adalah istilah untuk menandai pemikiran subjektivitas mutlak atas diri sebagai ukuran kebenaran yang dipopulerkan oleh filsuf Descartes, yang dianggap sebagai bapak filsafat modern.
3. Lihat Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarata, Bentang Pustaka, 2005), hlm. 217.
4. Ibid.
6. Ibid., hlm. 218.
7. Perdebatan itu tampak nyata dalam wacana esensisalis dan antiesensialis perihal apakah subjektivitas merupakan hal yang esensi pada diri (tidak berubah) atau hanya produk sosial-kultural (tidak pasti).
8. Ibid., hlm. 219.
9. Ibid.
10.Ibid.
11.Ibid.
12. Ibid., hlm. 227.
13. Ibid., hlm. 227-228.
14. Ibid., hlm. 229.
15. ibid., hlm. 231.
16. Foucault dengan gagasan geneaologi kekuasaan membuka jalan unutk melihat bagaimana kekuasan itu dientuk dan direproduksi oleh wacana, termaksud pembentukan subjek diri.
17. Lihat Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarata, Bentang Pustaka, 2005), hlm. 245.
18. ibid.
19. Laura Mulvey yang dipengaruhi oleh psikoanalisis Lacanian, mencoba melakukan studi perbedaan sesksualitas pria dan wanitas melalui 'sinematik terorganisir', lihat: Sarah Gamble, Â Femninisme & Postfemnisme, (Yogyakarta, Jalasutra, 2010), hlm. 71.
20. Ester Lianawati, Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempua, (Yogyakarta, EA Boks, 2020), hlm. 4.
21. lihat: Sarah Gamble, Â Femninisme & Postfemnisme, (Yogyakarta, Jalasutra, 2010), hlm. 71.
22. Â Ester Lianawati, Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempua, (Yogyakarta, EA Boks, 2020), hlm. 5-6.
23. Ibid., hlm. 20.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H