Mohon tunggu...
Rahmatullah Syabir
Rahmatullah Syabir Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Alauddin Makassar

Penulis Partikelir. Nulis sekedar hobi saja

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ketangguhan Karakter di Tengah Pandemi

2 Januari 2021   08:21 Diperbarui: 2 Januari 2021   08:25 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural Protokol Kesehatan dan Bapak Bermasker. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yang sangat beragam, yang terdiri dari berbagai agama, suku, bahasa, budaya, dan sebagainya yang kemudian terejawantah dalam suatu kesatuan yang akrab disebut "Bhinneka Tunggal Ika".

Pandangan berupa falsafah maupun ideologi yang kemudian kita kenal dengan "Pancasila" adalah sebuah bentuk kesepakatan para pendiri bangsa yang menginginkan adanya frasa "sama rasa sama rata" bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu, Pancasila lahir bukan hanya untuk golongan tertentu, tapi sebagai upaya merangkul segala elemen masyarakat yang sangat beragam.

Begitupun dengan kondisi pasca-kemerdekaan, yang masih dalam keadaan revolusi dimana pihak kolonialisme masih ingin menancapkan kukunya di Negara Republik Indonesia yang baru merdeka tersebut. Tapi semangat perjuangan para pahlawan dan para pejuang yang tak kenal menyerah, mampu mempertahankan tanah airnya dari segala bentuk penjajahan dan kesewenang-wenangan dari bangsa kolonial.

Maka selayaknya bagi generasi penerus bangsa bisa mencontoh atau minimal bisa mempersiapkan diri dari segala bentuk upaya untuk memecah belah bangsa dan negara yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tak berperikemanusiaan dan tak berperikeadilan. Hal ini harus menjadi tugas bersama sebagai bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Tidak terlepas dari itu, perpecahan akibat adanya gesekan keyakinan atau agama seringkali juga menjadi momok menakutkan bagi mereka yang tak terlibat tapi berada pada kondisi yang bahaya itu. Karenanya, perlu ada penguatan nilai beragama untuk merangkul semua pihak apalagi bagi kaum minoritas. Kebebasan dalam menjalankan agama, beribadah dengan khusyuk, bahkan bisa mendirikan rumah ibadah adalah hak bagi semua pemeluk agama yang telah diatur oleh undang-undang, dan merupakan amanat dari UUD 1945 sekaligus ideologi bangsa "Pancasila".

Maka terciptalah kesepakatan pemikiran tentang bagaimana cara menghadapi dan menyelesaikan persoalan adanya konflik berdasarkan keyakinan tersebut, yaitu dengan mensosialisasikan "Moderasi Beragama" yang diupayakan oleh pemerintah melalui Kementrian Agama.

Melalui buku Kementrian Agama RI yang berjudul Tanya Jawab Moderasi Beragama, mengatakan bahwa pengertian dari kata Moderasi adalah jalan tengah. Dengan menganalogikan kepada seorang moderator yang bertugas menjadi penengah dalam sebuah forum diskusi, yang tentunya tidak condong ke siapapun. Dalam buku ini juga, moderasi dipahami sebagai sesuatu yang terbaik.

Kemudian berangkat dari pengertian itu, dalam buku ini menyimpulkan bahwa moderasi agama adalah cara beragama jalan tengah. Dan dalam moderasi agama, seseorang dapat dikatakan moderat ketika beragama dengan cara yang tidak berlebih-lebihan atau tidak ekstrem.

Kemudian lebih lanjut, contoh konkret dalam beragama yang berlebihan adalah ketika seseorang atau siapapun itu dengan mudahnya mengkafirkan orang lain yang tentunya berbeda paham dengan dirinya. Contoh kasus lainnya adalah dengan merusak rumah ibadah dan mengganggu ibadah agama lain. Disisi lain, ketika seseorang yang beragama , lalu melakukan hal yang dilarang oleh agamanya dengan alasan toleransi dan melakukan ritual agama lain juga dengan alasan tenggang rasa dan sebagainya adalah perbuatan ekstrem dalam beragama.

Maka dari itu, moderasi agama harus dipahami sebagai bentuk menghormati dan menghargai agama lain tanpa menggangu dan merusak fasilitas keagamaan mereka. Nah, dari sudut pandang itulah, maka seorang yang moderat adalah seorang yang dalam menyikapi suatu masalah berdiri ditengah-tengah, tanpa berlebihan dan tanpa menyepelakan.

Pancasila Representasi Moderasi Bergama

Sila pertama berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa" yang sangat sarat makna bahwa siapapun boleh beragama di tanah air Indonesia. Tidak ada pengecualian pada siapapun, selama dia berjanji akan beragama dengan niat beribadah maupun lainnya tanpa mencederai prinsip-prinsip moderasi beragama.

Begitupun dengan seringnya kita melihat maupun mendengar aksi terorisme yang acap kali menimbulkan korban yang tidak sedikit. Tujuan mereka mungkin atas nama agama, tapi sebenarnya itu sudah jauh dari kodrat beragama, yang di mana agama sendiri merupakan wujud perdamaian atau welas asih untuk kehidupan di muka bumi. Jadi yang melakukan aksi terorisme tidak pantas disebut membela agama.

Maka, hadirlah Pancasila sebagai wajah perdamaian tersebut. Dimana lima dasar negara tersebut sebagai solusi kemandirian bangsa, persatuan nasional, dan sebagai representasi dari moderasi beragama.

Ketangguhan Karakter di Tengah Pandemi

Semenjak Pandemi Covid-19 merebak di seluruh dunia, mengakibatkan terjadinya perubahan pada kebiasaan-kebiasaan sebelum pandemi, yang terbiasa dengan kontak fisik, berkumpul, dan tentunya kegiatan tatap muka selalu dilakukan. Tapi, setelah pandemi ini meluas dan menyebar, menyebabkan pola kebiasaan tersebut berubah seiring berjalannya waktu, dan itu berbanding terbalik dengan kebiasaan sebelumnya.

Kemudian dengan adanya pandemi ini mengharuskan dilakukan yang namanya mematuhi protokol kesehatan yang dikenal dengan 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga Jarak). Inilah kebiasaan baru yang telah melekat dalam beberapa bulan terakhir ini, sehingga mau tidak mau kita harus mematuhi hal tersebut agar dapat melindungi diri sendiri maupun orang lain.

Dengan adanya sikap mematuhi itu, sehingga minimal menekan laju sebaran positif Covid-19, telah menjadikan diri kita sebagai orang yang berkarakter tangguh. Walaupun diri kita merasa memiliki imun yang kuat, bukan berarti harus melupakan Pandemi itu. Menjaga diri dengan mematuhi protokol kesehatan setidaknya menyelamatkan nyawa keluarga kita sendiri dan mengurangi beban dari pemerintah dan tenaga kesehatan yang telah berjuang untuk kemaslahatan masyarakat.

Karakter Tangguh, Pandemi, dan Moderasi Beragama

Bagi sebagian orang, pada awal-awal merebaknya pandemi, masih ada yang menabrakkan antara kesehatan dengan agama. Misalnya saja, dengan anjuran pemerintah untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, sehingga dianjurkan untuk tidak sholat berjamaah dulu di masjid. Bukan berarti pemerintah melarang sholat, tapi melarang adanya perkumpulan yang tidak menjaga jarak. Tapi, masih ada segelintir orang yang masih kukuh pada pendiriannya untuk tetap sholat di masjid, dan mengabaikan keselamatan orang lain.

Bukan tentang siapa benar atau siapa salah, dan siapa paling agamis dan tidak. Tapi, mendahulukan keselamatan jiwa orang lain itu juga telah diajarkan pada semua agama. Mematuhi protokol kesehatan, berarti kita telah berbuat kebajikan. Mengedepankan egoisme bukanlah hal yang patut dibanggakan, apalagi menyepelekan Covid-19 karena kuatnya imun. Covid-19 adalah virus yang menyebar, jadi bukan semata tentang diri sendiri, tapi juga tentang orang lain.

Dengan hal ini, kita telah siap untuk berprinsip atau berkarakter tangguh, untuk selalu berbuat kebajikan dengan mematuhi protokol kesehatan. Karena telah ditanamkan pada diri untuk menjadi orang yang beragama dengan santun dan mengayomi sesuai dengan nilai-nilai moderasi beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun